بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji hanya milik Allah Rabbul
‘alamin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita
Muhammad, keluarganya dan para shahabat.
Saat ini kita akan bersama-sama mengkaji tauhid
dan materi pertama yang akan kita bahas adalah berkenaan dengan
muqaddimah yang sangat penting, yang mana dari muqaddimah ini kita akan
mengetahui betapa besar kedudukan tauhid dibandingkan dengan amal-amal
yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan dalam surat Adz Dzaariyaat: 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku”
Jadi tujuan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hidup di dunia ini adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan mengabdi kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita sebagai hamba Allah, tentu kita adalah abdi bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan kita hanya menghambakan diri dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Saya ulangi… tujuan kita di dunia ini bukan apa-apa, tapi untuk mengabdi “liya’ buduun” kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Adapun bumi dan isinya beserta semua pernak-perniknya Allah ciptakan untuk bekal kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan)
langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu”. (QS. Al Baqarah [2]: 29)
Jadi, bumi dan segala isinya, baik yang
ada di perut bumi ini dan di atas bumi ini semuanya Allah ciptakan buat
kita, sedangkan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk
mengabdi kepada-Nya… maka amat sangat keliru bila orang sibuk
mengorbankan agama, mengorbankan pengabdiannya kepada Allah dalam rangka
mencapai kehidupan dunia yang sesaat, padahal itu adalah bekal dalam
hidup mengabdi mencapai ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Banyak sekali manusia mengorbankan
tauhidnya, mengorbankan diennya untuk mendapatkan materi, mendapatkan
uang, makanan, atau harta benda lainnya dari dunia yang fana ini padahal
Allah Subhanahu Wa Ta’ala sangat menghati-hatikannya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji
Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia
memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaithan yang pandai
menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (QS. Faathir [35]: 5)
Jadi, kalau orang lupa kepada tujuan hidup yaitu pengabdian kepada Allah dan ia malah menjadi hamba atau abdi bagi selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berarti dia telah terpedaya dengan kehidupan dunia, dia terpedaya oleh syaitan dan dia lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.
Saya ulangi, kita diciptakan untuk
mengabdi kepada Allah, untuk beribadah kepada Allah, akan tetapi
dikarenakan kita -manusia- ini terbatas kemampuan akalnya, Allah
menciptakan manusia ini sebagai makhluq yang bodoh lagi dhalim. Manusia
tidak bisa mengabdi sebenar-benarnya kepada Allah dengan sendirinya
tanpa ada bimbingan, maka dari itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus
para Rasul-Nya sebagai pembimbing manusia. Allah juga mengetahui bahwa
Rasul-Rasul itu tidak akan hidup abadi di tengah umatnya… Mereka pasti
meninggal dunia, maka Allah menurunkan Kitab-Nya sebagai pedoman yang
harus dipegang oleh orang-orang yang mengikuti para Rasul tersebut.
Jadi Rasul adalah pembimbing dan kitab
adalah pedoman hidup, bila kita ingin mencapai kepada Allah, maka kita
harus mengikuti apa yang dituntunkan oleh Rasul dan mengikuti pedoman
yang telah Allah turunkan, yang mana pedoman ini adalah tali Allah yang
Dia ulurkan ke dunia, barangsiapa memegang tali Allah ini (tali Allah
adalah pedoman Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya) maka akan
sampai kepada ridha Allah, tapi kalau memegang kitab-kitab yang lainnya
yang tidak ada dasar dari Allah yaitu kitab-kitab yang diulurkan oleh
syaitan dari neraka, berupa ajaran selain Kitabullah atau selain ajaran
Rasul-Nya, maka kitab tersebut akan menghantarkan ke dasar api neraka.
Berbeda jika orang memegang Al-Qur’an -tali yang diturunkan Allah ke
dunia- maka akan sampai kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi disini, Rasul diutus sebagai pembimbing.
Apakah inti dakwah para Rasul? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya kami telah mengutus
Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja),
dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl [16]: 36).
Ayat ini secara tegas dan jelas menjelaskan bahwa semua Rasul diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan yang pertama kali mereka ucapkan kepada kaumnya dan ini diucapkan oleh para Rasul terhadap umatnya termasuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”
Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang
rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian
akan Aku”.(QS. Al-Anbiyaa [21]:25)
Jadi bagi semua Rasul, yang pertama Allah
wahyukan kepada mereka adalah Laa ilaaha illallaah, dan Laa ilaaha
illallaah ini yang disampaikan oleh para Rasul dalam ayat ke-36 Surat
An-Nahl tadi (“Ibadahlah kalian kepada Allah dan Jauhilah thaghut”) Jika kedua ayat tersebut digabungkan, maka maknanya adalah: ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut. Laa ilaaha maknanya: Jauhilah thaghut dan illallaah maknanya ibadah kalian kepada Allah.
Ajaran Tauhid (Laa ilaaha illallaah) ini
disepakati oleh semua Rasul, dari Rasul pertama sampai Rasul terakhir,
jadi ajaran para Rasul dalam masalah tauhid adalah sama, perintah untuk
hanya beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.
Apakah thaghut itu…? Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan
kita untuk menjauhi thaghut. Apakah kita tahu apa thaghut itu?
Bagaimana kita menjauhi thaghut?. Keimanan seseorang kepada Allah tidak
akan bermanfaat tanpa menjauhi thaghut, karena Laa ilaaha illallaah itu
mempunyai dua rukun:yang pertama: Laa ilaaha yang berarti jauhi thaghut, sedangkan yang kedua illallaah (kecuali Allah) maksudnya ibadahlah kalian hanya kepada Allah. Salah satunya tidak bisa berdiri tanpa yang lainnya.
Orang yang menjauhi thaghut tapi tidak
beriman kepada Allah, maka tidak bermanfaat, begitu juga orang yang iman
kepada Allah tapi tidak menjauhi thaghut maka keimanan kepada Allah
tersebut tidak akan bermanfaat, akan tetapi harus digabungkan: “Ibadah kepada Allah dan menjauhi thaghut”.
Jadi semua dakwah para Rasul adalah sama
dalam masalah Laa ilaaha illallaah, yaitu ibadahlah kalian kepada Allah
dan jauhilah thaghut. AllahTa’ala berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Barangsiapa kafir kepada
thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia berpegang
(teguh) pada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Buhul tali yang sangat kokoh ini adalah Laa ilaaha illallaah, tadi telah saya utarakan…
Itulah tali yang Allah ulurkan ke dunia
ini, barangsiapa yang kafir terhadap thaghut atau bahasa lainnya
dalam surat An-Nahl 36: “menjauhi thaghut dan beriman kepada Allah (beribadahlah kepada Allah)” maka orang tersebut telah memegang buhul tali yang amat kokoh yaitu Laa ilaaha illallaah yang
dijelaskan dalam surat Al-Anbiyaa: 25. Jadi maknanya: Siapa yang kafir
terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka orang tersebut telah
memegang Laa ilaaha illallaah, artinya kalau orang tidak kafir terhadap thaghut walaupun ia beriman kepada Allah, maka dia itu belum memegang Laa ilaaha illallaah meskipun ia mengucapkannya dan walaupun ia mengakuinya.
Jadi orang yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah disebut orang yang telah memegang Al ‘Urwah Al Wutsqa, Al-‘Urwah adalah ikatan dan Al-Wutsqa adalah
yang amat kokoh dan ikatan yang amat kokoh ini adalah tauhid (Laa ilaha
illallaah) karena ikatan tersebut tidak akan putus.
Allah mensyaratkan bagi seseorang agar
dapat dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah adalah dengan dua hal:
Iman kepada Allah dan kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan
ibadah hanya kepada Allah. Sedangkan kita mengetahui bahwa rukun islam
yang paling pertama adalah Laa ilaaha illallaah. Dalam hadits Al
Bukhariy dan Muslim yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan: “Islam dibangun atas lima hal, yang pertama adalah syahadatain Laa ilaha illallaah wa ana Muhammad Rasulullah...”. Dan kita juga mengetahui bahwa orang dikatakan telah masuk Islam adalah apabila berkomitmen dengan Laa ilaaha illallaah.
Kunci masuk Islam adalah Laa ilaaha illallaah sebagaimana kunci masuk surga adalah Laa ilaaha illallaah. Maksudnya
adalah bukan sekedar mengucapkan, akan tetapi komitmen dengan makna
kandungannya yaitu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan iman
atau ibadah hanya kepada Allah artinya: Apabila orang tidak
merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka orang tersebut belum memiliki
kunci keislaman yaitu pengamalan akan Laa ilaaha illallaah.
Oleh karena itu para ‘ulama seperti: Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al ’Aziz Al Hamid: “Sekedar
mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa
mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan
segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka
pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat
berdasarkan ijma para ulama”.
Jadi hal itu tidak bermanfaat walaupun
mengucapkannya beratus-ratus kali atau beribu-ribu kali dalam setiap
hari, apabila tidak memahami maknanya dan tanpa komitmen dengan
kandungannya, maka itu tidaklah bermanfaat berdasarkan ijma’ para ulama.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya
telah menjelaskan dalam hadits Muslim yang disebutkan dalam shahihnya
yaitu Dari Abu Malik Al-Asyja’i, beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan ia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah -maksudnya kafir terhadap Thaghut- maka haram darah dan hartanya”. Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan
keharaman darah dan harta, maksudnya orang dikatakan berstatus muslim
yang haram harta dan darahnya, jika ia mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan
kafir terhadap thaghut. Jadi sekedar mengucapkannya adalah tidak
bermanfaat dan orangnya belum masuk ke dalam Al-Islam, bila tidak kafir
kepada thaghut.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Islam
itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak
ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta
mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal
ini, maka ia bukan muslim”. Karena ia belum memegang Laa ilaaha illallaah.
Jadi Laa ilaaha illallaah itu memiliki
makna dan memiliki kandungan serta memiliki konsekuensi yang di
antaranya adalah kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut.
Allah memerintahkan kita untuk menjauhi
thaghut, maka tak mungkin Allah tidak memberikan penjelasan tentang
thaghut… itu mustahil, jika shalat saja yang Allah fardhukan 10 tahun
setelah kerasulan (Nabi Muhammad shallallhu’alaihi wa sallam
diangkat menjadi Rasul,ed) dijelaskan dalam sunnahnya secara terperinci
oleh Rasul-Nya, maka apalagi thaghut yang mana Allah perintahkan
semenjak awal Rasul diutus untuk mengatakan: “jauhi thaghut…!” tentulah
Allah menjelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an, dan Allah pasti
menjabarkan bagaimana tata cara kafir terhadap thaghut…
Kita tanya diri kita, apakah saya sudah
tahu apa itu thaghut? atau apakah justru saya mendekati thaghut? atau
malah saya iman kepada thaghut? atau malah saya loyal kepada thaghut?
Semua jawaban ada pada diri kita sendiri, maka dari itu hal ini
mengharuskan kita untuk mengetahuinya.
Apabila kita paham bahwa keislaman
seseorang atau dengan kata lain seseorang tidak dikatakan muslim, tidak
dikatakan mukmin adalah kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman
kepada Allah, maka selanjutnya… sebelum kita mengupas lebih banyak apa
maknanya, maka terlebih dahulu harus kita ingat bahwa segala amal
ibadah; baik itu shalat, zakat, shaum, haji, i’tikaf, shalat tarawih dan
yang lainnya tidak akan Allah terima, tidak akan Allah balas kalau
orangnya belum muslim, belum mukmin. Maksudnya di sini adalah muslim…
mukmin yang sebenarnya -bukan pengakuan saja-, yaitu muslim yang
merealisasikan Laa ilaaha illallaah karena para ulama menjelaskan dari
uraian-uraian yang tadi mereka mengatakan: “Para ulama sepakat, bahwa
orang yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah, maka dia
itu orang musyrik walaupun dia shalat, zakat, shaum, mengaku muslim dan
mengucapkan Laa ilaaha illallaah” (Lihat Ibthal At Tandid).
Allah hanya akan menerima amal shalih
yang dilakukan seseorang dengan syarat orang tersebut merealisasikan Laa
ilaaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah), karena
orang tidak dikatakan muslim dan tidak dikatakan mukmin kecuali kalau
kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah atau merealisasikan Laa
ilaaha illallaah.
Mari kita ambil beberapa ayat yang
menerangkan bahwa amal shalih tidak akan Allah balas kalau orangnya
(pelakunya) tidak kafir terhadap thaghut.
- Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukimin, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizhalimi sedikitpun” (QS. An-Nisa [4]: 124).
Perhatikanlah ayat “dia itu mukmin”, sedangkan
orang tidak dikatakan mukmin, kecuali orang tersebut kafir terhadap
thaghut, karena -seperti yang sudah dijelaskan- pintu masuk Islam
adalah Laa ilaaha illallaah dan maknanya adalah kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan
memberikan balasan surga dan tidak sedikitpun mengurangi amal shalih
yang dilakukan seseorang baik itu laki-laki ataupun perempuan dengan
syarat dia mukmin, sedangkan orang yang melakukan shalat, zakat, shaum,
haji, jihad dan yang lainnya namun dia ternyata tawalliy kepada
thaghut atau masih melakukan kemusyrikan atau yang lainnya yang
melanggar Laa ilaaha illallaah, maka balasan tadi tidak akan diberikan
karena Allah mengatakan “sedang dia itu mukmin”sebagai syaratnya.
2. Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan,
baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin, maka pasti akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl [16]: 97)
Amal shalih yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan akan ada balasannya dari Allah, akan tetapi ada syaratnya yaitu: “sedang dia itu mukmin”. Orang
mukmin yaitu yang merealisasikan keimanan yang intinya ada dalam makna
kandungan Laa ilaaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada
Allah)
Dua ayat di atas sama, semuanya tentang amal shalih, ada balasan di ujungnya, sedang di tengahnya ada syarat: “sedang dia itu mukmin”.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا يَخَافُ ظُلْمًا وَلا هَضْمًا
“Dan barangsiapa mengerjakan
kebajikan sedang dia itu mukmin, maka dia tidak khawatir akan perlakuan
zhalim terhadapnya dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya”. (QS. Thaha [20]: 112)
Orang yang melakukan amal shalih tidak akan dizhalimi oleh Allah, dan tidak akan dikurangi pahalanya tapi ada syaratnya: “sedang dia itu mukmin” orangnya mukmin, orangnya (pelakunya) itu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya jika orang melakukan amal shalih, tapi tidak menjauhi thaghut maka amalnya tidak akan diberikan balasan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا كُفْرَانَ لِسَعْيِهِ وَإِنَّا لَهُ كَاتِبُونَ
“Barangsiapa yang
mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin, maka usahanya tidak akan
diingkari (sia-sia) dan sungguh Kami akan mencatat untuknya” (QS. Al-Anbiyaa [21]: 94)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dicatat oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dan tidak akan diingkari-Nya dengan syarat: “sedang dia itu mukmin”.Berarti
kalau seseorang melakukan amal shalih akan tetapi belum merealisasikan
”kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah” (Laa ilaha illallaah)
maka tidak akan dicatat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
5. Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Barangsiappa mengerjakan kebajikan
baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin maka mereka akan
masuk surga, merea diberi rizqi di dalamnya tanpa batas”. (QS Al Mu’min [40]: 40)
Ada balasan surga dan ada balasan terhadap amal shalih yang dilakukan oleh setiap individu insan dengan syarat: “Sedang ia itu mukmin”
6. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan
akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia itu
mukmin, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (QS. Al Isra [17]: 19)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dibalas oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan syarat: “sedang dia itu mukmin”
7. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى
“Barangsiapa datang kepada-Nya dalam
keadaan beriman dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah
orang yang memperoleh derajat yang tinggi” (QS. Thaahaa [20]: 75)
Allah janjikan surga atas amal shalih
yang dilakukan seseorang dengan syarat dia itu mukmin. Dia iman kepada
Allah dan kufur kepada thaghut.
Semua ayat-ayat di atas dengan jelas dan
tegas menjelaskan bahwa sekedar orang shalat, zakat, haji dan yang
lainnya belum tentu dia itu muslim kalau dia belum merealisasikan Laa
ilaaha illallaah.
Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa
ajaran yang paling pokok di dalam Islam ini dan yang paling
nikmat adalah bila seseorang telah mendapatkan karunia-Nya adalah ketika
dia memahami dan bisa mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah.
Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mendakwahkan Laa ilaaha illallaah, sebelum diangkat menjadi Rasul yang mana digelari oleh masyarakat sekitarnya sebagai Al-Amin (orang yang jujur lagi terpercaya), tetapi ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallaah maka gelar itu berubah menjadi: “Tukang sihir lagi pendusta” (QS. Shaad: 4), berubah menjadi: “Penya’ir Gila” (QS. Ash Shaaffat: 36), dan dalam ayat yang lain dikatakan “sesat”. Semua perubahan ini terjadi karena mengamalkan Laa ilaaha illallaah.
Tidak mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah langsung dikatakan: gila, pendusta, penya’ir gila… melainkan ketika mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallaah.
Rasulullah dilempari, dicekik, Bilal
disiksa, Sumayyah dibunuh, Yasir dibunuh, Ammar disiksa dan karena
mendapat intimidasi yang dahsyat, maka para shahabat yang lainnya
diizinkan hijrah ke Habasyah (Ethiopia), meninggalkan kampung halaman,
rumah, harta benda, mengarungi padang pasir yang luas dan mengarungi
lautan yang jauh untuk menyeberang ke Benua Afrika, karena apa…? Karena
mempertahankan Laa ilaaha illallaah.
Andaikata Laa ilaha illallaah itu hanya
sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh
kalimat tersebut pada realita kehidupan, maka tidak mungkin terjadi apa
yang menimpa mereka.
Sekarang misalnya kita mengucapkan Laa
ilaaha illallaah di hadapan thaghut maka kita tidak akan diapa-apakan.
Akan tetapi ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah maka akan
terjadi apa yang (mesti) terjadi berupa: orang-orang menggunjing,
orang-orang menjauhi dan mencela kita, dan bahkan thaghut mengejar dan
memenjarakan itulah yang terjadi ketika kita mengamalkan konsekuensinya.
Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallaah memakan waktu yang sangat lama, karena beratnya sehingga kaumnya menolak:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا
“Dan sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun” (QS. Al-Ankabuut [29]: 14).
Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam
waktu sekian lama hanya mempunyai pengikut sebanyak 40 orang
-sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama- disebabkan beratnya
kandungan Laa ilaaha illallaah.
Sekarang, shalat tidak dilarang di manapun, baik orang kafir ashliy atau
orang kafir murtad atau thaghut tidak melarang shalat, bahkan shalat
dianjurkan, shaum bagi mereka adalah penghematan, haji bagi mereka
menambah pendapatan negara, akan tetapi… ketika mengamalkan
kandungan Laa ilaaha illallaah, maka yang ada adalah: penyiksaan,
intimidasi, penjara, pembunuhan dan yang lainnya… Itu semua adalah
ketika Laa ilaaha illallaah dipegang.
Kita sering mendengar bahwa nikmat yang
paling agung adalah nikmat iman dan islam, hal itu adalah Laa ilaaha
illallaah, namun bukan hanya sekedar ucapan tanpa mengetahui maknanya.
Jika orang tidak memahami hakikat Laa ilaaha illallaah dan tidak
mengamalkannya, maka ia tidak mungkin merasakan nikmat itu, akan tetapi
di sini apabila orang memahaminya, mengamalkannya ~walaupun harus
meninggalkan harta dunia atau materi atau apa saja yang ia miliki~
apabila dia sudah merasakan nikmat Laa ilaaha illallaah, maka ia akan
berani meninggalkan semuanya demi meraih ridha Allah… meraih surga dan
selamat dari api neraka.
Sebaliknya, orang yang melakukan amal shalih, sedangkan ia tidak merealisasikan makna Laa ilaaha illallaah,
masih berlumuran dengan kemusyirikan, kekafiran, kethaghutan dan yang
lainnya, maka nestapa yang akan dirasakannya adalah sebagaimana yang
Allah gambarkan dalam firman-Nya tentang orang-orang yang melakukan amal
shalih sedangkan dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah yaitu:
Firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Jadi tidak ada artinya alias hilang…
shalatnya, zakatnya, shaumnya, hajinya, berbuat baiknya kepada tetangga,
perbuatan baiknya kepada orang tuanya, dan kebaikan-kebaikan lainnya,
maka semuanya hilang lenyap karena kemusyrikan. Amal shalih hanya akan
diterima oleh Allah dengan syarat “sedang dia itu mukmin” yaitu komitmen dengan Laa ilaaha illallaah, orangnya muwahhid (bertauhid).
Firman-Nya yang menggambarkan tentang
realita umat yang merasa telah melakukan amal baik berupa amal-amal
shalih dan menjadi bagian kaum muslimin padahal sebenarnya dirinya itu
masih musyrik dan masih kafir tanpa ia menyadari adalah…
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang kafir, perbuatan
mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apapun. Dan
didapatinya (ketetapan) Allah baginya” (QS. An-Nur [24]: 39).
Ayat “dan orang-orang kafir” adalah
siapa saja yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah, baik itu
mengaku muslim atau non muslim, mau shalat, mau zakat ataupun haji akan
tetapi belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka pada hakikatnya dia masih kafir.
Allah memperumpamakan amalan orang-orang yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah seperti fatamorgana,
maksudnya adalah bahwa orang yang merasa dirinya sudah muslim (ia
melakukan) shalat, zakat, haji dan banyak berbuat baik pada sesama, lalu
ia mengira pahalanya sudah menumpuk di sisi Allah, dia siap memetiknya
hingga dia mengira akan masuk surga, dan ketika didatangi (maksudnya:
mati) menemui Allah, yang mana sebelumnya dia di dunia mengira pahala
sudah menumpuk… ternyata realitanya dia tidak mendapatkan apa-apa,
kenapa…? karena Allah tidak mencatatnya, karena amalan itu tidak ada
artinya, sungguh sangat kecewa, padahal dahulu ketika di dunia dia
mengira bahwa dia calon penghuni surga dan aman dari api neraka,
ternyata yang ada adalah nestapa yang dia dapatkan dalam realita yang
seperti itu… Bagaimana sekiranya kalau hal itu menimpa diri kita? Ini
adalah gambaran dalam ayat tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلالُ الْبَعِيدُ
“Perumpamaan orang yang kafir kepada
Tuhannya, perbuatan mereka seperti debu yang ditiup oleh angin keras
pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan
manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia)” (QS. Ibrahim [14]: 18)
Jika kita menyimpan debu di depan rumah,
lalu tiba-tiba debu tersebut ditiup badai… maka apa yang terjadi? Maka
kita akan lihat debu tersebut beterbangan. Begitu juga amal shalih, ia
seperti tumpukan debu, sedangkan noda-noda kekafiran, kemusyrikan,
kethaghutan adalah badai yang meniup dan menghempaskan amal shalih yang
menumpuk, maka amal shalih itu hilang diterpa badai kemusyrikan
tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh telah diwahyukan
kepadamu dan kepada Nabi-Nabi yang sebelummu: Sungguh, jika engkau
mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu dan tentulah engkau
termasuk orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)
Allah Ta’ala mengingatkan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam,
beliau adalah orang muslim, muwahhid, dan mukmin. Akan tetapi jika
Rasulullah melakukan kemusyrikan ~sedangkan kedudukan beliau adalah
Rasul~ beliau diberikan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan dengan kita..?
Rugi, karena sudah capek beramal, banyak
mengeluarkan biaya, apalagi kalau pergi Haji tentu memakan biaya besar,
akan tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa… bukankah ini suatu
kerugian…???
Bahkan bukan hanya Rasulullah Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam saja, akan tetapi semua rasul diperingatkan dengan ancaman oleh AllahSubhanahu Wa Ta’ala dalam kitab-Nya:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am [6]: 88)
Andai kamu hai orang-orang muslim… hai
siapa saja, bila melakukan kemusyrikan, maka lenyaplah amal kamu seperti
tumpukan debu yang dihempas oleh badai, sehingga ketika mengaku sebagai
seorang muslim, merasa dirinya sudah Islam, melakukan shalat, zakat,
haji, berjihad, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga,
memberi kepada sesama dan yang lainnya, akan tetapi bila realita
sebenarnya dia itu belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah dan belum
kufur terhadap thaghut dan merasa dirinya sudah benar, sudah Islam, dia
merasa bahwa kalau dia mati bisa memetik hasil amal shalih yang telah
dia lakukan, akan tetapi ternyata ketika dia datang ke akhirat ia tidak
mendapatkan apa-apa sehingga ini yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (١٠٣) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Apakah perlu Kami beritahukan
kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (yaitu) orang yang
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira
telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi [18]: 103-104).
Mereka mengira sudah berbuat sebaik-baiknya, mengira bahwa dia itu calon penghuni surga, mengira bahwa amalannya diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
mengira dirinya aman dari api neraka. Tapi ternyata… tidaklah seperti
yang dia perkirakan. Bukannya pahala yang didapatkannya, akan tetapi
malah siksa api neraka, karena apa? karena belum merealisasikan inti
dari ajaran Islam -Laa ilaaha illallaah (iman kepada Allah dan kufur
terhadap thaghut)- sehingga nestapa inilah yang akan dirasakan dan apa
yang Allah gambarkan dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ (٢) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (٣) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas“ (QS. Al Ghaasyiyah [88]: 2-4)
Bukan surga yang didapat, akan tetapi dia
masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Alangkah ruginya, alangkah
sedihnya ketika kondisi yang di sana tidak ada lagi kesempatan untuk
kembali lagi ke dunia. Mungkin, ketika orang melakukan kegagalan di
dunia ini, dia bisa mengulang dan bisa mengambil pelajaran karena masih
ada kesempatan tapi di akhirat maka tidak akan ada lagi kesempatan.
Orang yang dahulunya menentang Allah dan mengikuti thaghut, mereka akan berkata seperti yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ (١٦٦) وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
“(Yaitu) ketika orang-orang yang
diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka
melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan di antara mereka terputus
sama sekali”. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya
kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari
mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi
mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]: 166-167)
Jadi, tauhid (Laa ilaaha illallaah)
adalah inti kehidupan kita, inti dari dien kita. Realisasikan tauhid
ini, jauhi thaghut sebelum Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup
akhir hayat kita sedangkan kita belum berlepas diri dari kethaghutan,
karena kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan abadi adalah di
akhirat. Allah menciptakan kita di dunia untuk mengabdi kepada Allah…
untuk menjauhi thaghut.
Apakah thaghut itu? Apa kita sudah tahu apa thaghut, yang mana Allah memerintahkan kita untuk menjauhinya? Dimana keimanan kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa kafir kepada thaghut dan bagaimana cara kita menjauhi thaghut?
Dan apa saja yang membatalkan Laa ilaaha illallaah? Apa saja yang
menggugurkan Laa ilaaha illallaah? Jika kita mengetahui apa yang
membatalkan wudhu padahal seharusnya kita terlebih dahulu mengetahui apa
yang membatalkan Laa ilaaha illallaah… yakni yang membatalkan tauhid
kita.
Semua itu akan lebih memahamkan kita
ketika mendengar ayat-ayat yang tadi saya sampaikan tentang begitu
pentingnya Laa ilaaha illallaah dan begitu besarnya kandungan Laa ilaaha
illallaah ini sehingga amalan tidak bisa diterima tanpa adanya
pengamalan terhadap Laa ilaaha illallaah. Semua ini mendorong kita untuk
mengetahui apa sebenarnya yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah dan
bagaimana hukumnya berloyalitas terhadap thaghut. Semua ini harus diketahui.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan
kepada Nabi kita, keluarganya dan para shahabatnya, serta orang-orang
yang mengikutinya sampai hari kiamat…
Alhamdulillahirrabbil’aalamiin.
download Seri Materi Tauhid Lengkap.pdf disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar