Siapakah Ulil Amri Yang Wajib Ditaati ?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”.
(QS. An Nisaa’ [4]: 59)
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul
‘Aalamiin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul
yang paling agung Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para shahabatnya
seluruhnya.
Ikhwani fillah… kali ini kita akan meluruskan pemahaman yang ada di masyarakat berkenaan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (QS. An Nisaa’ [4]: 59)
Ayat ini adalah ayat yang sering kita
dengar dan digunakan oleh banyak orang dalam rangka mewajibkan
masyarakat untuk taat kepada pemerintah Republik Indonesia ini. Oleh
karena itu perlu kiranya kita meninjau kembali atau meluruskan posisi
ayat ini secara proporsional dalam kehidupan nyata di negeri ini. Mari
kita pahami siapa orang-orang yang beriman dalam ayat tersebut dan
kaitannya dengan realita Pemerintahan Republik Indonesia ini…
Tinjauan ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (QS. An Nisaa’ [4]: 59)
“Hai orang-orang yang beriman”, ini adalah khithab (seruan) terhadap orang-orang yang beriman. “taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”,
maksud ulil amri di sini adalah ulil amri dari kalangan kalian, yaitu
pemimpin muslim atau pemimpin yang mu’min, itu adalah pengertian
sederhananya.
Jadi, pemimpin yang harus ditaati ─tentunya selain dalam maksiat─ adalah pemimpin muslim, karena Allah mengatakan “min kum” (dari kalangan kalian) setelah mengkhithabi “hai orang-orang yang beriman”.
Orang yang beriman atau orang muslim yang
berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma adalah orang yang beriman
kepada Allah dan kafir kepada thaghut, berikut ini adalah penjabarannya.
A. Dalil Dari Al Qur’an
1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang teguh pada al ‘urwah al wutsqa”. (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Al ‘urwah al wutsqa adalah buhul
tali yang amat kokoh, yaitu Laa ilaaha illallaah, artinya barangsiapa
kafir kepada thaghut dan iman kepada Allah, maka dia itu adalah orang
yang mengamalkan Laa ilaaha illallaah, orang yang sudah masuk Islam,
karena pintu masuk Islam adalah dengan perealisasian Laa ilaaha
illallaah sebagaimana ini adalah rukun Islam yang pertama.
Orang tidak dikatakan beriman, kecuali
jika dia beriman kepada Allah dan kafir kepada thaghut. Jika orang
beriman kepada Allah tapi dia tidak kafir kepada thaghut, maka ia bukan
orang yang beriman, ia bukan muslim… itu berdasarkan nash Al Qur’an.
Maka dari itu Allah dalam ayat ini mendahulukan kafir kepada thaghut “Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah”
supaya tidak ada orang yang mengklaim behwa dirinya beriman kepada
Allah padahal dia belum kafir kepada thaghut pada realita yang dia
kerjakan.
2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Ali Imran [3]: 64 :
قُلْ يَا أَهْلَ
الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا
نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا
فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (Muhammad): “Hai ahli
kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah
kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim”.
Jadi, yang diserukan kepada ahli kitab
adalah pengajakan untuk berkomitmen dengan Laa ilaaha illallaah, ibadah
kepada Allah dan meninggalkan penyekutuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di ujung ayat Allah menyatakan; “jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim”,
maksudnya jika mereka berpaling dan tidak mau meninggalkan para arbab
itu, maka saksikanlah bahwa kami ini orang muslim dan kalian bukan orang
muslim.
Berdasarkan ayat itu kita dapat
menyimpulkan bahwa orang yang tidak merealisasikan apa yang dituntut
oleh ayat ini, yaitu ibadah hanya kepada Allah, meninggalkan sikap
penyekutuan sesuatu dengan-Nya dan meninggalkan sikap menjadikan selain
Allah sebagai arbaab, maka orang yang tidak mau meninggalkan hal itu
adalah bukan orang muslim.
3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
فَإِذَا انْسَلَخَ
الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ
وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ
تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Apabila sudah habis bulan-bulan
Haram itu, maka bunuhilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah
ditempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat
dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. (QS. At Taubah [9]: 5)
Taubat dari apa…? Taubat dari kemusyrikan dan segala kekafiran… Yang maksudnya adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala
melarang kaum muslimin untuk melakukan pembunuhan, pengepungan dan
pengintaian apabila orang-orang itu sudah taubat dari segala kemusyrikan
dan kekafiran, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, berarti orang
muslim itu tidak boleh diganggu. Maka orang yang tidak taubat dari
kemusyrikannya berarti dia itu bukan orang muslim.
4. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian satu agama”. (QS. At Taubah [9]: 11)
Jika mereka bertaubat (dari
kemusyrikannya), maka mereka adalah saudara satu agama, maksudnya mereka
itu orang-orang muslim, karena sesama muslim adalah saudara,
sebagaimana dalam surat Al Hujurat [49]: 10 :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara”.
Berarti jika sebaliknya, dia tidak mau
meninggalkan kesyirikannya meskipun dia shalat, zakat, dan melakukan
ibadah lainnya, maka dia bukan ikhwan fiddin (saudara satu
agama) dan berarti dia bukan orang mu’min, karena ukhuwah imaniyyah itu
tidak terlepas dengan dosa-dosa biasa, akan tetapi dengan kesyirikan dan
kekufuran. Dan dalam surat Al Baqarah [2]: 178 dikatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ
وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ
أَخِيهِ
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya…”
Dalam ayat ini, sang pembunuh dan
keluarga yang dibunuh tetap dipersaudarakan. Membunuh sesama muslim
adalah dosa besar, tapi tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam
selama dia tidak menghalalkannya.
Demikianlah beberapa dalil tentang orang yang beriman dari Al Qur’an, sedangkan berikut ini adalah:
B. Dalil Dari As Sunnah
A. Dalam hadits Al Bukhariy dan Muslim Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilaah
(yang haq) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, bila mereka melakukan hal itu,
maka mereka terjaga darah dan hartanya dari saya, kecuali dengan hak
Islam, sedangkan perhitungan mereka adalah atas Allah”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak berhenti memerangi manusia sampai mereka komitmen dengan Laa
ilaaha illallaah, iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut serta
mengakui risalah yang dibawa beliau kemudian membenarkannya, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat. Ini sama dengan penjelasan sebelumnya.
B. Dalam hadits Al Bukhariy dari Abu Malik Al Asyja’iy radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa
yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala
sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya,
sedang perhitungannya atas Allah ta’ala”.
Seseorang dikatakan haram darah dan
hartanya, dalam arti dia itu dikatakan muslim, bila komitmen dengan Laa
ilaaha illallaah ─iman kepada Allah dan kafir kepada thaghut─, yaitu
kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka barulah
dikatakan muslim mukmin.
C. Dalil Dari Ijma Ulama Ahlus Sunnah
- Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah mengatakan: “Para ulama salaf dan khalaf, dari kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah telah ijma, bahwa seseorang tidak menjadi muslim, kecuali dengan mengosongkan diri dari syirik akbar dan berlepas diri darinya”. (Ad Durar As Saniyyah, 11/545-546).
Dalam hal ini orang tidak dikatakan
muslim bila tidak mengosongkan dirinya dari syirik akbar, tidak berlepas
diri darinya dan dari para pelakunya. Ini adalah ijma’ (kesepakatan)
ulama, maka perhatikanlah…!
Oleh sebab itu, jika masih atau belum
berlepas diri dari kemusyrikan, maka dia itu belum muslim meskipun dia
melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang lainnya. Dan selagi dia belum
mengosongkan diri dari kesyirikan, maka dia belum muslim walaupun dia
shalat, zakat, haji, dan yang lainnya…
- Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan: “SEKEDAR mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan Tauhid dan meninggalkan syirik akbar serta kafir terhadap thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma” (nukilan ijma’ dari kitab Taisir Al ‘Aziz Al Hamid)
Orang yang mengucapkan Laa ilaaha
illallaah, dia shalat, zakat, shaum dan walaum haji berkali-kali, akan
tetapi jika dia tidak meninggalkan syirik akbar, tidak kafir terhadap
tahghut, maka dia itu bukan muslim dan tidaklah bermanfaat pengucapan
Laa ilaaha illallaah-nya.
- Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah mengatakan: “Ulama ijma’ (sepakat), bahwa orang yang memalingkan satu macam dari dua do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik walaupun mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dia shalat dan zakat serta mengaku muslim”. (Ibthalut Tandid Bikhtishar Syarh Kitab Tauhid, hal: 67)
Do’a ada dua macam; yaitu do’a yang
berupa permohonan yang biasa kita ketahui, dan do’a berupa ibadah
seperti; shalat, shaum, zakat, haji, penyandaran hukum, dan lain-lain.
Jadi, bila seseorang memalingkan satu
macam ibadah saja kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, meskipun
mengucapkan kalimat tauhid, shalat, shaum, zakat dan mengaku sebagai
seorang muslim.
- Syaikhul Islam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan tentang para pengikut Musailamah Al Kadzdzab: “Di antara mereka ada yang mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kembali menyembah berhala seraya mengatakan: “Seandainya dia (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam) itu adalah Nabi, tentulah tidak akan mati”. Dan di antara mereka ada yang tetap di atas dua kalimah syahadat, akan tetapi dia mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa beliau shalallahu‘alaihi wa sallam menyertakan dia di dalam kenabian, ini karena Musailamah mengangkat para saksi palsu yang bersaksi baginya akan hal itu, namun demikian para ulama ijma’ bahwa mereka adalah orang-orang murtad meskipun mereka jahil akan hal itu. Dan siapa yang meragukan kemurtaddan mereka, maka dia kafir” (Syarh Sittati Mawadli Minash Shirah dalam Mujmu’atut Tauhid, hal. 23)
Bila saja orang yang tidak melakukan
kesyirikan, akan tetapi mengangkat seorang manusia biasa sederajat
dengan nabi, maka ia telah divonis murtad dan segala amal ibadahnya
tidak dianggap, dan bahkan diperangi oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan para
shahabat lainnya radliyallahu ‘anhum… maka apa gerangan dengan orang yang mengangkat makhluk pada derajat uluhiyyah
(ketuhanan) dengan cara memberikan satu atau beberapa macam dari
sifat-sifat khusus ketuhanan…?? Maka ini lebih syirik lagi, lebih kafir
lagi dan lebih murtad lagi jika sebelumnya dia mengaku muslim!
- Beliau (Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab) rahimahullah juga menukil ijma tentang pengkafiran penguasa ‘Ubaidiyyin di Mesir. Beliau berkata dalam suratnya kepada Ahmad Ibnu Abdil Karim Al Ahsaa’iy, beliau menjelaskan: “Di antara kisah yang terakhir adalah kisah Bani ‘Ubaid, para penguasa Mesir dan jajarannya, mereka itu mengaku sebagai ahlul bait, mereka shalat jama’ah dan shalat jum’at, mereka juga mengangkat para qadliy dan mufti, akan tetapi ulama ijma akan kekafiran mereka, kemurtadannya, keharusan untuk memeranginya, serta bahwa mereka adalah negeri harbiy, wajib memerangi mereka meskipun mereka (rakyatnya) dipaksa lagi benci kepada mereka”. (Tarikh Nejd, 346)
Pada saat itu kajian ada, kesempatan
belajar juga ada, shalat juga mereka lakukan bahkan mereka (Bani ‘Ubaid)
yang menjadi imamnya, akan tetapi ulama ijma bahwa mereka itu
orang-orang murtad kafir harbiy, karena mereka menampakkan kesyirikan
akbar.
Demikianlah dalil-dalil dari Al Qur’an,
As Sunnah dan Ijma yang mengatakan bahwa orang tidak dikatakan sebagai
orang muslim, kecuali jika dia beriman kepada Allah dan kafir terhadap
thaghut. Sedangkan thaghut yang paling besar di antara thaghut-thaghut
zaman sekarang ini adalah thaghut hukum dan perundang-undangan berikut para pembuat hukum dan pemutus hukum yang berpedoman dengannya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan dalam surat An Nisaa’ [4]: 60 :
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا
أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Tidakkah engkau (Muhammad)
memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu?. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintahkan untuk kafir kepada thaghut itu…”
Dalam ayat tersebut tersirat keheranan Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
karena ada orang yang mengaku beriman kepada Al Qur’an dan mengatakan
bahwa Al Qur’an adalah kitab suci serta pedoman hidup, akan tetapi
ketika ada masalah, mereka malah merujuk kepada hukum thaghut… padahal
hukum thaghut bukanlah hukum yang Allah turunkan, sedangkan Allah sudah
memerintahkan untuk kafir dan menjauhi thaghut.
Hukum yang dibuat oleh manusia merupakan bisikan syaitan jin, sebagaimana yang Allah jelaskan dalam firman-Nya:
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ
“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya…” (QS. Al An’am [6]: 121)
Dan digulirkan oleh syaitan-syaitan manusia, maka itulah thaghut yang dimaksudkan firman Allah dalam surat An Nisaa’ [4]: 60.
Maka segala hukum produk manusia dengan segala bentuknya, baik yang
dibuat dalam bingkai demokrasi atau yang lainnya, maka selama itu hukum
yang bukan berasal dari Allah berarti itu adalah thaghut, karena hanya
ada dua macam hukum; hukum Allah atau hukum thaghut. Sedangkan seseorang
tidak dikatakan muslim jika tidak kafir kepada thaghut hukum ini, atau
pembuatnya dari kalangan syaitan manusia atau pembisiknya dari kalangan
syaitan jin.
Jika kita sudah memahami bahwa orang
muslim itu adalah orang yang berlepas diri dari kesyirikan. Orang muslim
adalah orang yang mentauhidkan Allah dan meninggalkan segala bentuk
kesyirikan, maka dia adalah seorang mu’min dimana saja dan kapan saja.
Sebaliknya, jika orang tidak merealisasikan hal ini, dalam arti walaupun
dia beribadah kepada Allah akan tetapi di samping beribadah kepada
Allah dia tidak kafir kepada thaghut, tapi justeru malah membela-bela
atau loyal kepada thaghut, maka dia bukan orang muslim.
Kemudian mari kita lihat realita
pemerintahan NKRI ini, apakah mereka kafir kepada thaghut dan iman hanya
kepada Allah sehingga mereka mendapat predikat mu’min, sehinggga mereka
menjadi ulil amri yang wajib ditaati sebagaimana penjelasan surat An Nisaa’: 59 tadi ? atau justeru sebaliknya…?
Tinjauan Realita Pemerintah NKRI
Bila Dipandang Dari Sisi Tauhid
A. Mereka Menjadi Thaghut
Kenapa demikian? Karena mereka dengan
dewan legislatifnya dan sebagian eksekutifnya mengklaim sebagai pembuat
hukum, mengklaim yang berhak membuat hukum dan perundang-undangan,
bahkan mereka telah membuat dan memutuskan, maka mereka adalah thaghut
itu sendiri. Mereka menjadi pembuat hukum yang hukumnya diikuti (baca:
diibadati) oleh ansharnya.
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا
أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Tidakkah engkau (Muhammad)
memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintahkan mengingkari thaghut itu”. (QS. An Nisaa’ [4]: 60)
Masyarakat atau anshar thaghut atau siapa
saja di antara mereka, ketika memiliki kasus di negeri ini, apakah
mereka mengajukan kasusnya kepada hukum Allah ataukan kepada hukum
selaim hukum Allah? tentu mereka mengajukannya kepada hukum selain hukum
Allah, yang mana hukum itu dibuat oleh para thaghut tadi di gedung
Palemen, baik yang ada di lembaga legislatif atau lembaga eksekutif
maupun para pemutusnya di dewan yudikatif.
Mereka adalah thaghut, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah dalam Risalah Fi Ma’na Thaghut, bahwa pentolan thaghut yang ke dua adalah Penguasa Zhalim Yang Merubah Ketentuan (Hukum,ed) Allah.
Sedangkan di negeri ini, semua hukum Allah dirubah… mulai dari hukum
pidana, perdata, ekonomi, dan lain-lain. Semua dicampakkan dan mereka
sepakat tidak memakai hukum yang Allah turunkan. Sedangkan sesesorang
tidak bisa dikatakan sebagai orang muslim kecuali bila kafir kepada
thaghut. Sedangkan dalam hal ini mereka sendiri adalah thaghutnya.
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ
ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا
إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab
(tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
putera Maryam, padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya
menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis :
- Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
- Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
- Mereka telah musyrik
- Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagai rabb/arbaab.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani
kemudian masuk Islam), ‘Adiy Ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan
vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”,
Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah
memvonis bahwa kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah
beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau
memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul mengatakan: “Bukankah
mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan
terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah
mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib)
Ketika mereka menyandarkan hak hukum dan
pembuatan hukum (tasyri’) kepada selain Allah, maka yang mengaku
memiliki hak membuat hukum ini disebut arbaab, yaitu yang
memposisikan dirinya sebagau tuhan pengatur selain Allah. Saat hukum itu
digulirkan dan diikuti, maka itu adalah arbab yang disembah. Orang yang
sepakat di atas hukum ini atau yang mengacu atau yang merujuk pada
hukum yang mereka gulirkan itu adalah orang yang Allah vonis sebagai
orang musyrik yang menyembah atau mengibadati atau mempertuhankan mereka
serta telah melanggar Laa ilaaha illallaah.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا
لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ
الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ
أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya
agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan
tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram,
namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai
sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu: Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?”, Rasulullah mengatakan: “Allah yang membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan: “Kambing
yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal,
sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang Mulia
dengan pisau dari emas kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian
lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, dan Allah katakan bahwa itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu)
untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu
setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika menyetujui dan
mentaati mereka, menyandarkan kewenangan hukum kepada selain Allah meski
hanya dalam satu hukum atau kasus saja (yaitu penghalalan bangkai) dengan firman-Nya: “maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”.
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan bahwa:
- Hukum yang bukan dari-Nya adalah wahyu syaithan.
- Para penggulirnya (yang mengklaim dirinya berhak membuat hukum) dari kalangan manusia disebut wali-wali syaithan.
- Yang menyetujuinya atau yang taat atau yang merujuk kepadanya disebut musyrikun.
Bila satu hukum saja dipalingkan dalam
hak pembuatannya kepada selain Allah, maka berdasarkan ayat tadi, bahwa
orang yang membuat hukum itu disebut wali-wali syaithan (thaghut) yang
telah mendapat wahyu atau wangsit dari syaithan, sedangkan orang yang
mentaatinya atau setuju dengan hukum buatan tersebut divonis sebagai
orang musyrik.
Sedangkan yang ada di NKRI ─dan
negara-negara lainnya─ adalah bukan satu, dua, tiga, sepuluh, atau
seratus hukum saja, akan tetapi seluruh hukum yang ada di sini adalah
bukan dari Allah, tapi dari wali-wali syaitan yang mendapat wahyu dari
syaitan jin, baik wali-wali syaitan itu dahulunya orang Belanda (yang
mewariskan KUHP) ataupun wali-wali syaitan zaman sekarang yang duduk di
kursi parlemen, yang membuat, yang merancang, yang menggodok, atau
apapun namanya dan siapapun yang membuat hukum, maka pada hakikatnya
mereka adalah wali-wali syaitan dan hukum yang mereka gulirkan
hakikatnya adalah hukum syaithan.
Perhatikanlah… jika saja orang-orang yang
SEKEDAR mentaati mereka, maka Allah memvonisnya sebagai orang musyrik,
maka apa gerangan dengan pembuatnya atau orang yang memutuskan dengannya
atau orang yang memaksa masyarakat untuk tunduk kepadanya dengan
menggunakan besi dan api (kekuatan dan senjata)…?!!
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai
sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dalam dien
(ajaran/hukum) ini apa yang tidak diizinkan Allah ?”. (QS. Asy Syuura [42]: 21)
Dalam ayat tersebut, siapa saja yang
membuat syari’at atau hukum atau undang-undang atau ajaran yang tidak
diizinkan oleh Allah dinamakan syurakaa (sekutu-sekutu), karena
mereka memposisikan dirinya untuk diibadati dengan cara menggulirkan
hukum agar diikuti. Mereka merampas hak pembuatan hukum dari Allah,
mereka merancang, menggodok, dan menggulirkan di tengah masyarakat.
Sedangkan orang-orang yang mentaati atau mengikuti hukum itu disebut
orang yang menyembah syuraka tersebut.
B. Mereka berhukum dengan selain hukum Allah atau memutuskan dengan hukum thaghut
Mereka berhukum dengan hukum thaghut,
karena selain hukum Allah yang ada hanyalah hukum jahiliyyah atau hukum
thaghut, ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Maaidah [5]: 44 :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir”.
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maaidah [5]: 50)
Dalam ayat-ayat di atas, orang yang
memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan adalah orang-orang
kafir, sedangkan pemerintah di negeri ini tidak memutuskan dengan apa
yang Allah turunkan, akan tetapi memutuskan dengan hukum thaghut. Maka
merekapun divonis kafir berdasarkan ayat-ayat seperti ini, bahkan Allah
mevonis orang-orang yang seperti ini sebagai orang-orang zhalim dan
fasiq dalam surat Al Maaidah [5]: 45 & 47.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan dalam Risalah Fie Makna Thaghut, tentang Ru-usuth Thawaghit (tokoh-tokoh para thaghut) yang ke tiga yaitu: Yang Memutuskan Dengan Selain Apa Yang Allah Turunkan.
Jadi pemutus hukum dengan selain apa yang
diturunkan Allah adalah bukan sekedar thaghut, akan tetapi termasuk
pentolan thaghut. Sedangkan iman kepada Allah tidak sah kecuali dengan
kafir terhadap thaghut, lalu bagaimana mungkin Pemerintah NKRI ini
dikatakan sebagai pemerintah muslim mu’min, sedangkan mereka bukan
sekedar thaghut, akan tetapi salah satu tokohnya thaghut… maka mereka
bukan hanya sekedar kafir, tapi amat sangat kafir !.
C. Mereka merujuk kepada hukum thaghut, baik thaghut lokal, regional maupun internasional
Saat menghadapi masalah, masalah apa
saja, maka pemerintah ini tidak merujuknya kepada hukum Allah, tapi
kepada hukum thaghut yang bersifat lokal (seperti Undang Undang Dasar
atau undang-undang atau yang lainnya), atau hukum-hukum regional, atau
hukum-hukum yang ditetapkan oleh mahkamah Internasional PBB. Sungguh…
mereka tidak merujuk kepada Al Qur’an atau As Sunnah, akan tetapi
merujuk kepada selainnya. Sedangkan dalam surat An Nisaa’ [4]: 60
tadi; Allah merasa heran atas klaim orang-orang yang mengaku telah
beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab Allah sebelumnya, orang-orang
yang ketika punya masalah justeru ingin berhakim (mengadukan urusan)
kepada thaghut. Perhatikanlah, dalam ayat tersebut sekedar ingin
berhukum kepada thaghut sudah Allah nafikan keimanannya. Imannya
dianggap sekedar klaim dan kebohongan belaka, maka apa gerangan dengan
orang-orang yang benar-benar bersumpah untuk merujuk kepada hukum
thaghut…?!
Pemerintah ini, ketika masuk PBB
diwajibkan untuk berikrar setuju atas segala peraturan yang
digariskannya, begitu juga ketika jajaran pemerintahan dewan legislatif,
eksekutif, yudikatif terbentuk, setiap orang diwajibkan bersumpah setia
untuk menjalankan hukum negara, inilah syahadat mereka ! inilah bai’at
mereka. Apakah di Negara ini ada bai’at untuk taat setia kepada Al
Qur’an dan As Sunnah ? tentu jawabannya tidak ada ! maka dari itu
setelah bai’at kepada Undang Undang Dasar selesai, mereka selalu mengacu
kepadanya, jika seorang Presiden misalnya menyimpang, maka DPR/MPR akan
memprotesnya dan mengatakan : “Presiden telah melanggar Undang Undang
Dasar atau undang-undang atau… atau…” dan tidak akan mengatakan
“Presiden telah melanggar Al Qur’an ayat sekian…” Andaikata seluruh isi
Al Qur’an dilanggarpun, maka mereka tidak akan mempermasalahkannya, asal
tidak melanggar “kitab hukum suci” mereka, yaitu Undang Undang Dasar
1945 dan undang-undang turunannya.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan bahwa orang yang berhakim dengan hukum Allah yang telah
dihapus adalah kafir, beliau menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan hukum
yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu
‘Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada
hukum-hukum (Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa
gerangan dengan orang yang mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia
mendahulukannya daripada ajaran Allah, maka dia kafir berdasarkan ijma’
kaum muslimin” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119)
Ilyasa adalah kitab hukum yang dibuat
oleh Jengis Khan raja Tartar. Kitab ini merupakan kumpulan hukum yang
sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil orang Nashrani, Al
Qur’an dan ajaran ahli bid’ah ditambah dengan hasil buah fikirannya lalu
dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau Yasiq.
Para ulama muslimin sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang merujuk
kepada kitab hukum ini, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin. Maka
demikian pula dengan Yasiq ‘Ashri (Yasiq Modern), yaitu Undang
Undang Dasar, KUHP, dan lain-lain, dimana hukum itu diambil dari
orang-orang Nashrani (seperti orang Belanda dengan KUHP-nya), dan ada
juga dari Islam seperti dalam masalah pernikahan.
Jadi ternyata serupa… maka siapa saja
yang merujuk pada Yasiq Modern ini, maka iapun kafir berdasarkan ijma’
kaum muslimin, sedangkan perujukan-perujukan ini telah dilakukan oleh
pemerintah NKRI ini…!!
D. Mereka menganut sistem Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata demos
(rakyat) dan kratos (kedaulatan/kekuasaan). Sistem ini merupakan
penyerahan hak hukum atau kedaulatan kepada rakyat. Sistem perwakilan
yang ada di dalamnya memberikan hak ketuhanan kepada wakil rakyat yang
duduk di parlemen untuk membuat, menetapkan dan memutuskan hukum.
Demokrasi merupakan salah satu bentuk
perampasan hak khusus Allah dalam At Tasyri’ (pembuatan, penetapan dan
pemutusan hukum atau undang-undang). Hak ini adalah hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
hak khusus rububiyyah dan uluhiyyah Allah, hak khusus yang seharusnya
disandarkan oleh makhluk hanya kepada Allah. Akan tetapi demokrasi
merampasnya dan justeru hak itu diberikan kepada makhluk. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا
لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Hak memutuskan hukum itu hanyalah khusus kepunyaan Allah. Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12]: 40)
Firman-Nya “Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”
bermakna: Kalian diperintahkan untuk tidak menyandarkan hukum kecuali
kepada Allah, karena Allah-lah yang berhak untuk membuatnya, untuk
menentukannya. Dan dalam ayat ini penyandaran hukum kepada Allah disebut
ibadah. Sedangkan dalam demokrasi; hukum disandarkan kepada rakyat
melalui wakil-wakilnya, maka demokrasi adalah sistem syirik, karena
memalingkan ibadah penyandaran hukum kepada selain Allah.
Demokrasi adalah sistem syirik yang
membangun pilar-pilarnya di atas sekulerisme, di atas kebebasan; bebas
meyakini apa saja walaupun pendapat syirik atau kekafiran sekalipun.
Demokrasi tidak mewajibkan menusia untuk taat kepada ajaran Allah, tapi
harus taat kepada kesepakatan rakyat, tatanan perundang-undangan yang
berlaku, yang mana notabene adalah hukum buatan manusia.
E. Mereka memiliki Ideologi/ falsafah/ asas/ pedoman/ petunjuk hidup/ nafas bangsa, yaitu Pancasila.
Pancasila adalah dien, karena dien adalah
jalan hidup, agama, aturan dan pedoman hidup, falsafah atau silahkan
orang menyebutnya apa saja… tapi yang jelas Pansacila adalah dien. Ini
singkat saja kita tinjau.
Dalam Pancasila dikatakan Ketuhanan Yang
Maha Esa, akan tetapi kita tidak tahu siapa Tuhan Maha Esa yang
dimaksud, karena Pancasila mengakui berbagai agama dengan tuhan-tuhannya
masing-masing yang beraneka ragam. Maka cukuplah falsafah ini menjadi
sesuatu yang rancu bagi orang yang berakal.
F. Tawalliy (loyalitas penuh) kepada kaum musyrikin
Mereka loyal kepada Perserikatan Bangsa
Bangsa, tunduk kepada undang-undang internasional dan peraturan lainnya
yang ada dalam tubuh PBB. Apapun yang ditetapkannya maka otomatis
diikuti. Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum muslimin untuk loyal kepada orang-orang kafir, Allah menyatakan dalam surat Al Maaidah: 51 :
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Siapa saja yang tawalliy di antara kalian terhadap mereka maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka”
G. Mereka memperolok-olok ajaran Allah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
melarang segala bentuk kemungkaran, sedangkan pemerintahan Negara ini
justeru memberikan izin bagi beroperasinya tempat-tempat kemungkaran
dengan dalih tempat hiburan, membiarkan berkembangnya media-media
penebar kesyirikan, kekufuran, kerusakan dan kebejatan (dengan dalih
kebebasan pers dan kebebasan berekspresi) dan lain-lain. Itu adalah
beberapa perolok-olokan terhadap ajaran Allah, sedangkan memperolok-olok
ajaran Allah adalah kekafiran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ
لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ
وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (٦٥) لا تَعْتَذِرُوا
قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab,
“Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”.
Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman”. (At Taubah [9]: 65-66).
Intinya, jelaslah bahwa Negara dan
pemerintahan ini kekafirannya berlipat-lipat. Setiap negara yang tidak
berhukum dengan hukum Allah dan tidak tunduk pada aturan Allah, maka
negara tersebut adalah negara kafir, negara zhalim, negara fasiq dan
negara jahiliyyah berdasarkan firman-firman Allah tersebut. Begitu juga
pemerintahnya, karena tidak akan berdiri suatu negara tanpa ada
pemerintah pelaksananya.
Setelah memahami hal ini, maka kita bisa
menyimpulkan bahwa TIDAK BENAR memerintahkan kaum muslimin untuk loyal
kepada pemerintah semacam ini dengan menggunakan dalil surat An Nisaa’ [4]: 59, karena ulil amri dalam ayat tersebut adalah “dari kalangan kalian”
yang berarti dari kalangan orang-orang yang beriman, sedangkan
pemerintahan NKRI ini sudah kita ketahui bahwa mereka BUKAN orang-orang
yang beriman, akan tetapi justeru mereka adalah thaghut, orang musyrik,
orang-orang kafir, orang-orang murtad. Jadi, jelaslah isi ayat itu tidak
sesuai dengan pemerintah ini.
Akan tetapi yang tepat bagi pemerintah semacam ini adalah:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
“Maka perangilah pemimpin-pemimpin
orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang
(yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At Taubah [9]: 12)
Jadi yang tepat bukan harus ditaati, bukan pula diberi loyalitas, akan tetapi yang semestinya ada adalah sikap qital (perang).
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
فَاقْتُلُوا
الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ
وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ
وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ
“Maka bunuhilah orang-orang musyrik
itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah
mereka dan intailah ditempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat
dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (QS. At Taubah [9]: 5)
Jika mereka bertaubat, maksudnya
bertaubat dari kemusyrikannya, dari kethaghutannya, dari kekafirannya,
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah mereka jalan
dan jangan diganggu. Sedangkan jika pemerintahan ini tidak bertaubat
dari kethaghutannya, dari Pancasilanya, dari demokrasinya dan dari
kekufuran lainnya, maka mereka masih masuk ke dalam cakupan ayat tadi.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
الَّذِينَ آمَنُوا
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي
سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ
الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang
di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut,
sebab itu perangilah kawan-kawan (wali-wali) syaitan itu” (QS. An Nisaa’ [4]: 76)
Orang-orang yang beriman berperang di
jalan Allah dalam rangka mengokohkan hukum Allah, menjunjung tinggi
ajaran-Nya, sedangkan orang-orang kafir ─yang di antaranya adalah
pemerintahan NKRI ini dan ansharnya─ mereka berjuang, berperang,
berkiprah dengan segala cara dalam rangka mengokohkan sistem thaghut.
Jadi, mereka berperang di jalan thaghut, maka bagaimana seharusnya sikap
kaum muslimin? Allah menyatakan: “sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu !”.
Perhatikanlah… mereka bukan ulil amri, akan tetapi mereka adalah wali-wali syaitan yang Allah perintahkan untuk memeranginya.
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka itu, sampai tidak ada fitnah, dan dien (ketundukan) hanya bagi Allah semata” (QS. Al Baqarah [2]: 193)
Dan perangilah mereka sampai tidak ada
lagi fitnah, tidak ada lagi ideologi syirik, tidak ada lagi kekafiran,
tidak ada lagi penghalang kepada jalan Allah, tidak ada lagi penindasan
terhadap kaum muslimin yang taat kepada Allah… bukan taat kepada
Pancasila atau Undang Undang Dasar atau demokrasi, tapi hanya taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Selama Ad Dien (ketundukan) belum sepenuhnya kepada Allah, maka al qital
(perang) belum berhenti… Selama fitnah (bencana) terhadap kaum muslimin
yang taat dan berkomitmen dengan ajaran Allah masih dikejar-kejar atau
dipersempit hidupnya, masih ditangkapi, dipenjarakan dan masih dibunuhi…
maka berarti masih ada fitnah…! Selama kemusyrikan didoktrinkan maka
fitnah masih ada…! Selama fitnah masih ada maka al qital tidak akan
berhenti…!
5. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ (٣٨) وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang
kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali
lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap)
orang-orang dahulu (dibinasakan)”. Dan perangilah mereka, supaya jangan
ada fitnah dan supaya dien itu semata-mata untuk Allah”. (QS. Al Anfal [8]: 38-39)
Jadi, al qital tidak akan
berhenti terhadap para penguasa yang menentang aturan Allah, yang
menyebar fitnah (bencana) kemusyrikan dan penindasan terhadap kaum
muslimin, merampas dan memeras harta kaum muslimin, baik dengan cara
kasar maupun halus, maka qital tidak akan berhenti terhadap pemerintah
yang seperti ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً
“Hai orang-orang yang beriman,
perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah
mereka merasakan sikap tegas dari kamu” (QS. At Taubah [9]: 123)
Perangilah orang-orang yang ada disekitar
kamu, yang ada di dekat kamu dan dalam realitanya bukan hanya dekat,
akan tapi mereka telah menguasai harta, diri, dan tanah air kita.
Merekalah thaghut penguasa negeri ini, merekalah orang-orang kafir itu.
Mereka telah sekian lama memerangi, menindas diri dan merampas harta
kaum muslimin. Mereka mewajibkan ini dan itu yang bertentangan dengan
ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Merekalah orang-rang kafir yang dekat,
maka tidak usah jauh-jauh pergi berperang untuk mencari orang kafir, ini
yang dekat justeru sudah memusuhi dan memerangi semenjak dahulu. Bahkan
para ulama sepakat bahwa memerangi penguasa murtad adalah lebih harus
didahulukan memeranginya daripada orang-orang kafir asli, apalagi
orang-orang kafir yang jauh…
6. Hadits ‘Ubadah Ibnu Shamit
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajak kami, maka kami membai’atnya, maka di antara yang beliau ambil
janjinya atas kami adalah kami membai’at(nya) untuk senantiasa mendengar
dan taat, saat senang dan saat benci, di waktu sulit dan waktu mudah
kami, serta saat kami diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak
merampas urusan dari yang berhak (penguasa) “kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dengan bukti dari Allah yang ada pada kalian”. (HR. Bukhari dam Muslim)
Sedangkan kita sudah banyak melihat
bentuk-bentuk kekafiran yang dianut dan masih senantiasa dilakukan
penguasa negeri ini, sehingga tidak layak berdalil dengan surat An Nisaa’ [5]: 59
untuk menggelari pemerintah ini sebagai ulil amri, akan tetapi yang
tepat adalah ayat-ayat yang baru saja dibahas dan ditambah dengan hadits
ini.
Para ulama sepakat bahwa orang kafir
tidak sah untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Bila pemimpin
tersebut asalnya muslim kemudian muncul kekafiran darinya, maka wajib
untuk mencopotnya dan menggantinya dengan pemimpin yang muslim. Bila
tidak mampu mencopotnya karena mereka menggunakan kekuasaan untuk
mempertahankannya, maka wajib diperangi.
Namun dalam relaita zaman ini,
kekafirannya bukanlah kekafiran yang bersifat personal, akan tetapi
kekafiran yang kolektif dan sistematis, sehingga jika penguasa yang satu
mati dan sistemnya belum mati maka orang-orang setelahnya akan
menggantikan dia, karena sistem kafirnya tidak mati dan tetap mengakar.
Tugas kita adalah wajib menggalang
kekuatan dengan langkah awalnya adalah mengerahkan segala kemampuan
dalam menggencarkan dakwah Tauhid yang berkesinambungan untuk mencabut
akar-akar loyalitas terhadap thaghut di tengah masyarakat, sehingga
thaghut tidak mempunyai tempat lagi di tengah-tengah masyarakat ini.
Jihad terhadap thaghut ini haruslah
menjadi opini kaum muslimin, kaum muslimin harus merasa memiliki
tanggung jawab terhadap masalah ini, sehingga tidak hanya dipikul oleh
kelompok-kelompok tertentu saja. Bukan berarti seluruh kaum muslimin
harus terjun dengan menenteng senjata, tapi yang paling penting bagi
mereka adalah harus memahami betul bahwa penguasa negeri yang mana
mereka hidup di dalamnya adalah penguasa murtad kafir yang tidak boleh
diberikan loyalitas, sehingga dengan kesadaran itu lunturlah dukungan
kepada para thaghut dan tumbuhlah loyalitas kepada orang-orang yang
berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bila ini terwujud, maka kondisi akan
berubah, dukungan kepada thaghut akan berganti dengan penentangan,
sehingga mudahlah untuk menjatuhkan para thaghut itu.
BERSABARLAH…!!! Proses ini tidak mudah dan tidak akan terjadi begitu saja, tahap awal yang patut dilakukan adalah memberikan bayan
(penjelasan) atau penyampaian risalah tauhid, karena perlu penyadaran
terhadap masyarakat tentang kenapa penguasa negeri ini dikatakan sebagai
penguasa kafir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
“Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu” (QS. Al Baqarah [2]: 191)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memerintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka pernah
mengusir kaum muslimin. Rasulullah diperintahkan untuk mengusir
orang-orang kafir sebagaimana mereka telah mengusir Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perhatikan… para thaghut itu telah
mengeluarkan orang-orang yang komitmen dengan ajaran Islam dari jajaran
masyarakat dengan cara menanamkan image negatif tentang mereka,
memprovokasi, memfitnah dan membodoh-bodohi masyarakat dengan menuduh
orang-orang yang bertauhid sebagai orang-orang bodoh, tidak memahami
Islam secara utuh, orang yang dangkal pikiran atau orang yang haus dunia
dan kekuasaan, maka menjadi wajiblah pula bagi kaum muslimin untuk
mencopot para thaghut ini dari benak masyarakat dengan cara menyebarkan
ilmu syar’iy, khususnya tentang tauhid dan kewajiban memerangi penguasa
semacam itu.
Begitu pula dalam masalah harta, sebagaimana para thaghut itu telah menjauhkan orang-orang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dari harta mereka, bahkan thaghut selalu berupaya mempersulit hidup
mereka, maka wajib pula bagi orang-orang yang bertauhid yang komit
terhadap ajaran-Nya untuk menjauhkan thaghut dari harta yang mereka
miliki, karena sebagian besar harta yang jatuh ke tangan thaghut
digunakan untuk mempersenjatai tentara mereka untuk memerangi Allah dan
Rasul-Nya, oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mendo’akan orang-orang Quraiys agar dilanda paceklik, dengan
tujuan agar mereka mendapatkan kesusahan sehingga tidak lagi menindas
kaum muslimin dan dana yang mereka keluarkan tidak digunakan untuk
mendukung hal itu. Maka haramlah atas setiap muslim untuk membayar atau
menyerahkan harta kepada penguasa kafir dalam bentuk apapun, kecuali
dalam kondisi terdesak atau dipaksa, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al Maaidah [5]: 2)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
“Janganlah kalian menyerahkan harta-harta kalian kepada orang-orang bodoh itu” (QS. An Nisa [4]: 5)
Perhatikanlah… jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala
melarang menyerahkan harta kaum muslimin kepada orang-orang yang tidak
bisa menggunakannya dengan benar dan bodoh, sedangkan bentuk kebodohan
yang paling dasyat adalah orang-orang yang tidak suka dengan ajaran
tauhid, salah satunya yaitu para thaghut. Allah menyatakan:
وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ
“Dan tidak ada yang benci kepada Millah Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri” (QS. Al Baqarah [2]: 130)
Jadi, seharusnya harta yang diambil dari
kaum muslimin, mereka pergunakan di jalan Allah, bukan di jalan thaghut
yang digunakan untuk memerangi Allah dan kaum muslimin.
Hendaklah diketahui bahwa pemerintahan
thaghut ini adalah pemerintahan yang tidak sah, tidak syar’iy, tidak
diakui secara Islam. Mereka adalah pemerintah yang memaksakan diri,
begitu pula hukum dan undang-undangnya tidak sah, oleh sebab itu kaum
muslimin tidak memiliki kewajiban untuk taat pada aturan-aturan yang
dibuat oleh pemerintah thaghut ini, bahkan bebas untuk melanggarnya
selama memenuhi dua syarat, yaitu: selama tidak melakukan sesuatu yang
dilarang syari’at dan selama tidak menzhalimi orang muslim lainnya.
Demikianlah sikap kita kaum muslimin
terhadap para thaghut penguasa negeri ini, bukan loyal dan taat kepada
mereka, tapi ingatlah bahwa kita adalah orang-orang yang ditindas,
diperangi dengan berbagai cara kasar dan halus, terang-terangan dan
sembunyi-sembunyi, tapi… sungguh banyak kaum muslimin tidak
menyadarinya. Ini karena kebanyakan kaum muslimin belum memahami hakikat
Laa ilaaha illallaah. Mereka mengira penguasa negeri ini adalah muslim,
karena para thaghutnya itu shalat, shaum, zakat, bahkan haji
berkali-kali, padahal penguasa negeri ini telah melanggar hal yang
paling penting dan fundamental, yaitu syahadat Laa ilaaha illallaah…
Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta
para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillaahirrabbil’aalamiin…[1]
[1] Saduran dari rangkaian kajian materi-materi tauhid (Nov.2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar