Al-Iman Sumber Kebahagiaan dan Pertolongan

Selasa, 30 September 2014

FAKTOR KEBODOHAN & Pengaruhnya Terhadap Hukum-Hukum Keyakinan Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (عارض الجهل)

عارض الجهلوأثره على أحكام الاعتقاد عند أهل السنة والجماعة

FAKTOR KEBODOHAN

&

Pengaruhnya Terhadap Hukum-Hukum Keyakinan Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
 Di Susun Oleh:Syaikh Abul ‘Ula Ibnu Rasyid Ibnu Abil ‘Ula Ar Rasyidhafidzahullah
 Mimbar Tauhid Dan Jihad
 Alih bahasaAbu Sulaiman Aman Abdurrahman

_________________

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

MUQADDIMAH

Segala puji hanya milik Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan-Nya dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amalan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada seorangpun yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa disesatkan-Nya maka tiada seorangpun yang bisa memberinya petunjuk.
Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak diibadati selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (١٠٢)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.(Ali Imran: 102)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanyaAllah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(An Nisa: 1)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٧٠) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (٧١)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.(Al Ahzab 70-71)
Muqaddimah ini memuat beberapa hal:
1. Nama judul riset ini:
عارض الجهل وأثره على أحكام الاعتقاد عند أهل السنة والجماعة
2. Urgensi materi ini, di mana ia itu kembali kepada beberapa hal di antaranya:
  1. Perselisihan manusia dan perpecahan mereka dalam masalah ini di samping tidak adanya batasan baku yang ditetapkan oleh para penulis di dalam permasalahan ini yang mana batasan baku itu bisa mengikatnya.
  2. Perselisihan yang terjadi di antara para penulis atau di antara orang-orang yang berbicara dalam permasalahan ini adalah ada dua kelompok:
(1) Satu kelompok yang menganggap kebodohan itu adalah udzur secara mutlak di dalam semua masalah dan di dalam semua keadaan, tanpa mempertimbangakan dlawabith (batasan-batasan) yang telah ditetapkan oleh para imam ahlus sunnah, bahkan sebagian kelompok ini berlebih-lebihan sampai menetapkan syarat-syarat yang membuat takfier mu’ayyan itu menjadi sangat mustahil dengan dalih bahwa si pelaku itu mengucapkan Laa ilaaha illallaah, sehingga mereka itu dirasuki syubhat Irja.
(2) Kelompok lain yang tidak menganggap kebodohan sebagai udzur dalam semua keadaan dan dalam semua masalah, di mana ia tergesa-gesa dan bergegas dalam mengkafirkan orang yang melakukan syirik atau kekafiran, tanpa memperhatikan dlawabith dan mawani’ (penghalang-penghalang) yang bisa menghalangi dari takfier.
3. Mendiskusikan faktor kejahilan-kejahilan ini dan menetapkan batasan baku baginya, karena ia memiliki kaitan dengan permasalah takfier dan konsekwensi-konsekwensi serta pengaruh-pengaruhnya yang berbahaya yang dibangun di atasnya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
“إذا تبين ذلك، فاعلم أن مسائل التكفير والتفسيق هي من مسائل الأسماء والأحكام التي يتعلق بها الوعد والوعيد في الدار الآخرة، ويتعلق بها الموالاة والمعاداة والقتل والعصمة وغير ذلك في الدار الدنيا”
“Bila hal itu sudah jelas, maka ketahuilah bahwa permasalahan takfier dan tafsiq adalah tergolong permasalah asma (nama-nama) dan ahkam yang berkaitan dengan janji dan ancaman di akhirat dan berkaitan juga dengan loyalitas, permusuhan, pembunuhan, keterjagaan, dan hal lainnya di dunia”[1]
Syaikh Abu Bithin mufti Diyar Najdiyyah berkata saat membicarakan permasalah takfier:
“وقد استزل الشيطان أكثر الناس في هذه المسألة؛ فقصّر بطائفة فحكموا بإسلام من دلت نصوص الكتاب والسنة والإجماع على كفره، وتعدّى بآخرين فكفّروا من حكم الكتاب والسنة مع الإجماع بأنه مسلم فيا مصيبة الإسلام من هاتين الطائفتين، ومحنته من تينك البليتين”
“Dan sungguh syaitan telah menyesatkan mayoritas manusia dalam masalah ini, di mana ia telah membuat sekelompok manusia berlaku taqshir (teledor) sehingga mereka menghukumi keislaman orang yang telah divonis kafir oleh nushush Al Kitab, As Sunnah, dan Ijma, dan ia telah membuat sekelompok yang lain melampaui batas, sehingga mereka mengkafirkan orang yang telah dihukumi sebagai muslim oleh Al Kitab, As Sunnah dan Ijma. Oh, sungguh bencana bagi Islam akibat dari dua kelompok ini dan sungguh ujian baginya dari akibat dua kelompok ini.”[2]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh yang mana beliau ini tergolong ulama dakwah, berkata:
“وهذان الشيخان (ابن تيمية وابن القيم) يحكمان أن من ارتكب ما يوجب الكفر والردة والشرك يُحكم عليه بمقتضى ذلك، وبموجب ما اقترف كفراً أو شركاً أو فسقاً. إلا أن يقوم مانع شرعي يمنع من الإطلاق، وهذا له صور مخصوصة، لا يدخل فيها من عبد صنماً أو قبراً أو بشراً أو مدراً لظهور البرهان، وقيام الحجة بالرسل”
“Dua syaikh ini (Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim) memvonis orang yang melakukan kekafiran, kemurtaddan dan kemusyrikan dengan vonis yang dituntut hal itu dan dengan vonis yang dituntut oleh apa yang dia lakukan, baik itu kekafiran atau kemusyrikan atau kefasiqan, kecuali bila ada penghalang syar’iy yang menghalangi dari penyematan vonis itu, sedangkan hal ini memiliki gambaran-gambaran yang khusus yang tidak masuk di dalamnya orang yang menyembah patung atau kuburan atau orang atau bangunan karena dalil telah jelas dan hujjah sudah tegak dengan para rasul.”[3]
4. Materi ini memiliki hubungan yang erat dengan materi yang sangat urgent, yaitu (pembatal-pembatal keimanan yang bersifat ucapan dan amalan) dan pengaruh faktor kebodohan ini terhadap orang yang terjatuh atau melakukan pembatal-pembatal ini.
Orang yang mengamati keadaan dan negeri-negeri kaum muslimin tentu ia mendapatkan aneka ragam fenomena pembatal keislaman yang bersifat ucapan dan amalan, di antaranya ada yang sudah lama terjadi dan ada pula yang baru terjadi, dan tujuan kami bukanlah menuturkan semua pembatal-pembatal ini, akan tetapi kami meringkas yang paling pentingnya saja:
  1. Ibadah kepada kuburan, kubah-kubah, tempat-tempat ziarah, pohon, batu, para wali dan shalihin dengan cara berdoa kepadanya, istighatsah dan isti’anah dengannya, nadzar dan menyembelih untuknya dan thawaf di sekitarnya. Ini termasuk pembatal keislaman dengan kesepakan ulama.
  2. Menyingkirkan syari’at dari hukum dan menggantinya dengan undang-undang buatan manusia yang dengan konsekuensinya yang haram dihalalkan dan yang halal diharamkan, begitu juga hudud dan hukuman syari’at diganti dengan hukuman-hukuman buatan yang tidak diturunkan Allah. Hal ini terjadi di mayoritas negeri-negeri kaum muslimin pada hari ini. Gambaran ini adalah termasuk pembatal keimanan dengan kesepakatan ulama.
  3. Loyalitas kepada orang-orang kafir dan membantu mereka dalam memerangi kaum muslimin, juga mencintai mereka dengan kecintaan yang tulus dan menjadikan mereka sebagai pemimpin dengan meninggalkan kaum mukminin dan membela mereka terhadap kaum mukminin.
  4. Memperolok-olok dan melecehkan agama dan penganutnya serta mencerca mereka lewat sarana-sarana informasi, baik itu yang dilihat, di dengar maupun yang dibaca sampai pada tahap memperolok-olok hal yang diketahui secara pasti lagi umum dari dien ini seperti surga dan neraka, hudud, hukuman, dan sangsi-sangsi syari’at serta hal lainnya yang diketahui pasti lagi umum dari dien ini, sedangkan contoh-contohnya sangat banyak.
  5. Mengingkari hal-hal yang sudah diketahui pasti lagi umum dari dien ini (maklum minaddien bidldlarurah) berupa ajaran-ajaran dan landasan-landasan pokok dien ini, dan menganggap bodoh orang yang mendakwahkannya dan yang memerintahkan manusia dengannya, sedangkan contoh-contoh atas hal itu adalah banyak.
  6. Ilhad (penyelewengan) dalam Asma dan Shifat Allah dan mengingkari sebagian shifat ini yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah atau mentakwilnya dengan pentakwilan yang mendekati pengingkarannya, seperti pengingkaran istiwa Allah di atas  Arasy-Nya dan sifat ‘Uluw-Nya di atas semua makhluk-Nya, dan yang lainnya yang mana firqah-firqah zaman dahulu telah terjatuh di dalamnya dan hal itu diikuti oleh sebagian orang-orang masa kini.[4]
Dengan merebaknya pembatal-pembatal keislaman ini dan keterjatuhan banyak manusia ke dalamnya baik individu-individu maupun kelompok yang banyak, maka sudah sewajibnya atas para du’at dan ulama untuk menjelaskan bahayanya pembatal-pembatal ini, menghati-hatikan manusia dari keterjatuhan ke dalamnya, menerangkan dalil-dalil yang menunjukan bahwa hal itu mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, serta membantah syubhat-syubhat golongan sesat yang membuat pengkaburan urusan ini di hadapan manusia atau mengecilkan bahayanya, dalam rangka pembebasan tanggung jawab bagi diri mereka di hadapan Allah dan dalam rangka menjelaskan al haq, sedangkan mereka itu sudah diambil perjanjian untuk menyampaikannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.[5]
Akan tetapi sangat disayangkan, justeru malah telah muncul dari kalangan du’at itu orang yang memandang bahwa penghati-hatian dari pembatal-pembatal ini adalah hal yang memecah belah kaum muslimin dan mencerai-beraikan persatuan mereka, di mana para du’at itu menganggap ringan status pembatal-pembatal ini padahal ia itu berbahaya, dan sebagian menganggap hanya sekedar kemungkaran biasa yang tidak berhak di namakan sebagai pembatal keislaman, dan sebagian mereka malah membela-bela orang yang melakukan pembatal-pembatal ini dengan dalih bahwa para pelaku itu mengucapkan kalimat tauhid, dan bahwa tidak mungkin mereka itu dikafirkan karena mereka itu melakukan pembatal-pembatal ini atas dasar kebodohan, tanpa mereka itu memperhatikan batasan-batasan baku yang telah ditetapkan para ulama dalam mempertimbangkan kejahilan sebagai udzur yang diterima. Sehingga akhirnya status pembatal-pembatal ini menjadi ringan di hadapan manusia karena keengganan para du’at dan ulama dari menghati-hatikan tentang bahayanya dan dari menjelaskan bahwa ia itu mengeluarkan dari Islam.
Oleh karena sebab-sebab ini maka dengan memohon pertolongan Allah ta’ala dan dengan meminta taufiq dan pelurus dari-Nya ‘Azza wa Jalla kami merasa penting untuk menulis di dalam masalah yang sangat urgent ini.
Dan penting kami katakan: Bahwa kajian ini berisi beberapa dlawabith (batasan-batasan baku) dan kaidah-kaidah penting yang menjadikannya pertengahan di antara orang-orang yang ghuluw dari dua kelompok di dalam masalah ini. Dlawabith ini adalah:
  1. Perbedaan antara masail dhahirah (permasalahan yang nampak) dengan masail khafiyyah (permasalahan yang samar) di dalam pengudzuran dengan sebab kejahilan, dan permasalahan yang tercakup di dalamnya.
  2. Pembuktian dan pembakuan masalah ushuluddien dan masalah furu’ dien ini menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seraya membandingkannya dengan para ulama panutan lainnya.
  3. Perbedaan antara maksud yang dianggap dengan maksud yang tidak dianggap di dalam permasalahan takfier, dan diskusi pelurusan syarthul qashdiy (syarat ada maksud) yang bermakna keyakinan dan niat.
  4. Perbedaan antara sifat tegak di dalam masail dhahirah dan di dalam masail khafiyyah.
  5. Perbedaan antara orang yang memiliki tamakkun (kesempatan/peluang) untuk belajar dengan orang yang tidak memiliki tamakkun, dan pembakuan kaidah “ada kesempatan untuk mengetahui” dan batasan-batasannya.
  6. Pembakuan dan penetapan kaidah pengecualian orang yang baru masuk Islam (dan) orang yang hidup di pedalaman yang jauh dari keumuman tidak ada udzur dengan sebab kejahilan di dalam masail dhahirah.
  7. Pembakuan dan pembuktian perbedaan antara kufur nau’ dengan kufur mu’ayyan, dan pengkhususan para ulama panutan terhadap kaidah ini.
  8. Pembakuan dan penetapan kaidah vonis kekafiran dan keislaman, dan bahwa keduanya di sandarkan kepada hal yang dhahir (nampak).

Kajian Ini Berisi Sepuluh Pasal:

Pasal Pertama:Berisi dua tema:
Pasal Kedua:Dengan judul: “Keterbuktian Pemilihan Antara Masaail Dhahirah Dengan Masaail Khafiyyah Menurut Para Ulama Panutan”.
Dan berisi beberapa tema:
Pasal Ketiga:Dengan Judul: “Diskusi Pelurusan Pensyaratan Maksud Dalam Kemunculan Maksud Atau Ucapan Kekafiran Dari Mukallaf”
Dan berisi beberapa tema:
Pasal Keempat:Dengan Judul: “Perbedaan Antara Tegak Hujjah Dan Paham Hujjah Serta Sifat Tegak Hujjah Di Dalam Masaail Dhahirah Dan Masaail Khafiyyah”.
Dan berisi beberapa tema:
Dan berisi beberapa tema:
Tema Pertama:
– Batasan-Batasan Orang Yang Memiliki Tamakkun Dan Orang Yang Tidak Memiliki Tamakkun./
Tema Kedua:
– Nama-Nama Ulama Yang Menetapkan Kaidah Ini
Tema Ketiga:
– Pernyataan Para Ulama Dalam Menetapkan Kaidah Ini
– Kesimpulan Pasal
- Perkataan-Perkataan Ulama Dalam Tafsiran Dalil-Dalil Yang Berpencar-Pencar
Pasal Ketujuh:Dengan Judul: “Pernyataan Para Ulama Panutan Perihal Tidak Ada Udzur Dengan Sebab Kebodohan Di Dalam Masaail Dhahirah”
Tema Kedelapan:
Catatan Penting
Dan berisi beberapa tema:
Tema Keempat:
–      Diskusi Pelurusan Makna Istitabah
Yaitu:
Tema Keenam:
6. Diskusi Pelurusan Hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu ‘anhu
Tema Ketujuh:
7. Diskusi Pelurusan kisah qawad (qishash)
Tema Kedelapan
8. Diskusi Pelurusan Klaim Ijma’
Pasal Kesepuluh:Dengan judul: “Fatwa-Fatwa Ulama Panutan Perihal Masalah Pengudzuran Dengan Sebab Kejahilan”, dan ia itu adalah:
1. Fatwa-Fatwa Ulama Dakwah Najdiyyah
2. Fatwa-Fatwa Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiyyah Dan Fatwa Di Saudi
3. Fatwa-Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz Mufti Umum Negara Saudi Rahimahullah Ta’ala
Metode kami dalam kitab ini berdiri di atas riset dan penelusuran tuntas dalam setiap masalah, pentarjihan apa yang telah ditarjihkan oleh para ulama rujukan, penukilan teks-teks ucapam mereka tanpa pemotongan atau pemalingan, penukilan pemahaman mereka yang jelas terhadap nash-nash yang ada, dan tidak menepatkan teks-teks ucapan itu kepada kesimpulan-kesimpulan atau pendapat-pendapat kami yang sudah ada sebelumnya di dalam masalah ini, dan saya tidak lupa untuk mengucapkan rasa terimakasih yang banyak kepada para syaikh kami yang mulia yang telah mengerahkan kemampuan dan waktu dalam memeriksa buku ini, dan saya khususkan di antara mereka:
1. Fadlilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah (anggota Haiah Kibar Ulama Di Saudi dan anggota Lajnah Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah) atas kesediaannya untuk mengoreksi buku ini, memberi pengantar dan memberikan catatan-catatan penting, maka semoga Allah membalaskan kebaikan kepadanya.
2. Fadlilatusy Syaikh ‘Abid Ibnu Muhammad As Sufyaniy hafidzahullah (Dekan Fakultas Syari’ah Ummul Qura yang lalu) di Mekkah Al Munawarah dan sekarang sebagai guru besar fiqh dan ushul di sana, yang telah mengerahkan banyak waktunya, dan saya telah membacakan kepadanya kitab ini secara utuh kemudian beliau memberikan banyak arahan bagi saya, maka semoga Allah membalaskan kebaikan dan pahala yang banyak kepadanya.
Saya berharap dari ikhwan yang budiman, siapa saja yang membaca kitab ini dan mendapatkan di dalamnya sesuatu yang mesti diluruskan, maka hendaklah ia menyampaikannya kepada saya sebagai bentuk ketulusan dan masukan bagi saya. Dan saya memohon kepada Allah agar membalas kebaikan kepada setiap orang yang membantu pengeluaran kitab ini dan menjadikannya manfaat bagi saya dan bagi kaum muslimin… Allahumma amiin… dan Allah lah di balik tujuan ini dan Dia-lah yang menunjukan kepada jalan yang lurus.
Ditulis oleh:
Abul ‘Ula Ibnu Rasyid Ibnu Abil ‘Ula Ar Rasyid
25 Dzul Hijjah 1428 H.
PO BOX 6882
Kode Pos – Makkah Al Mukarramah
 *****
______________________
[1] Majmu’ Al Fatawa 12/468
[2] Fatawa Al Aimmah An Najdiyyah 3/338 Terbitan Dar Ibnu Khuzaimah.
[3] Fatawa Al Aimmah An Najdiyyah 3/338 Terbitan Dar Ibnu Khuzaimah
[4] Silahkan lihat rincian pembatal-pembatal ini:
  1. Nawaqidlul Iman Al Qauliyyah Wal ‘Amaliyyah, tulisan Doktor Abdul ‘Aziz Al Abdillathif.
  2. Al Iman, Haqiqatuhu, Arkanuhu, Nawaqidluhu, tulisan Doktor Nu’aim Yasin.
  3. Risalah Al Wala Wal Bara’, tulisan Doktor Muhammad Ibnu Sa’id Al Qahthaniy.
  4. Risalah Al Muwalah Wal Mu’adah, tulisan Mihmas Al Jal’ud.
  5. Risalah Tahkimul Qawanin, tulisan Syaikh Muhammad ibnu Ibrahim Alu Asy Syaikh.
  6. Adlwaa ‘Alaa Ruknit Tauhid, tulisan Abdul ‘Aziz Abdul Hamid.
  7. Al Hukmu Bighairi Maa Anzalallaah, Ahwaluhu Wa Ahkamuhu, tulisan Doktor Abdurrahman Al Mahmud.
  8. Majmu’atut Tauhid, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan Ibnu Taimiyyah.
  9. At Tibyan Fi Syarhi Nawaqidlil Islam, tulisan Syaikh Sulaiman Ibnu Nashir Al ‘Ulwan.
[5] Kondisi mereka dalam hal itu adalah seperti keadaan dakwah para mujaddid semisal Syaikh Muhammad Ibnu Wahhab rahimahullah.

Rabu, 24 September 2014

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat.
Saat ini kita akan bersama-sama mengkaji tauhid dan materi pertama yang akan kita bahas adalah berkenaan dengan muqaddimah yang sangat penting, yang mana dari muqaddimah ini kita akan mengetahui betapa besar kedudukan tauhid dibandingkan dengan amal-amal yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan dalam surat Adz Dzaariyaat: 56 :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku”
Jadi tujuan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hidup di dunia ini adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan mengabdi kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita sebagai hamba Allah, tentu kita adalah abdi bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan kita hanya menghambakan diri dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Saya ulangi… tujuan kita di dunia ini bukan apa-apa, tapi untuk mengabdi “liya’ buduun” kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Adapun bumi dan isinya beserta semua pernak-perniknya Allah ciptakan untuk bekal kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Baqarah [2]: 29)
Jadi, bumi dan segala isinya, baik yang ada di perut bumi ini dan di atas bumi ini semuanya Allah ciptakan buat kita, sedangkan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengabdi kepada-Nya… maka amat sangat keliru bila orang sibuk mengorbankan agama, mengorbankan pengabdiannya kepada Allah dalam rangka mencapai kehidupan dunia yang sesaat, padahal itu adalah bekal dalam hidup mengabdi mencapai ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Banyak sekali manusia mengorbankan tauhidnya, mengorbankan diennya untuk mendapatkan materi, mendapatkan uang, makanan, atau harta benda lainnya dari dunia yang fana ini padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala sangat menghati-hatikannya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaithan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”(QS. Faathir [35]: 5)
Jadi, kalau orang lupa kepada tujuan hidup yaitu pengabdian kepada Allah dan ia malah menjadi hamba atau abdi bagi selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berarti dia telah terpedaya dengan kehidupan dunia, dia terpedaya oleh syaitan dan dia lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.
Saya ulangi, kita diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, untuk beribadah kepada Allah, akan tetapi dikarenakan kita -manusia- ini terbatas kemampuan akalnya, Allah menciptakan manusia ini sebagai makhluq yang bodoh lagi dhalim. Manusia tidak bisa mengabdi sebenar-benarnya kepada Allah dengan sendirinya tanpa ada bimbingan, maka dari itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus para Rasul-Nya sebagai pembimbing manusia. Allah juga mengetahui bahwa Rasul-Rasul itu tidak akan hidup abadi di tengah umatnya… Mereka pasti meninggal dunia, maka Allah menurunkan Kitab-Nya sebagai pedoman yang harus dipegang oleh orang-orang yang mengikuti para Rasul tersebut.
Jadi Rasul adalah pembimbing dan kitab adalah pedoman hidup, bila kita ingin mencapai kepada Allah, maka kita harus mengikuti apa yang dituntunkan oleh Rasul dan mengikuti pedoman yang telah Allah turunkan, yang mana pedoman ini adalah tali Allah yang Dia ulurkan ke dunia, barangsiapa memegang tali Allah ini (tali Allah adalah pedoman Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya) maka akan sampai kepada ridha Allah, tapi kalau memegang kitab-kitab yang lainnya yang tidak ada dasar dari Allah yaitu kitab-kitab yang diulurkan oleh syaitan dari neraka, berupa ajaran selain Kitabullah atau selain ajaran Rasul-Nya, maka kitab tersebut akan menghantarkan ke dasar api neraka. Berbeda jika orang memegang Al-Qur’an -tali yang diturunkan Allah ke dunia- maka akan sampai kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi disini, Rasul diutus sebagai pembimbing.
Apakah inti dakwah para Rasul? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl [16]: 36).
Ayat ini secara tegas dan jelas menjelaskan bahwa semua Rasul diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan yang pertama kali mereka ucapkan kepada kaumnya dan ini diucapkan oleh para Rasul terhadap umatnya termasuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”
Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(QS. Al-Anbiyaa [21]:25)
Jadi bagi semua Rasul, yang pertama Allah wahyukan kepada mereka adalah Laa ilaaha illallaah, dan Laa ilaaha illallaah ini yang disampaikan oleh para Rasul dalam ayat ke-36 Surat An-Nahl tadi (“Ibadahlah kalian kepada Allah dan Jauhilah thaghut”) Jika kedua ayat tersebut digabungkan, maka maknanya adalah: ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghutLaa ilaaha maknanya: Jauhilah thaghut dan illallaah maknanya ibadah kalian kepada Allah.
Ajaran Tauhid (Laa ilaaha illallaah) ini disepakati oleh semua Rasul, dari Rasul pertama sampai Rasul terakhir, jadi ajaran para Rasul dalam masalah tauhid adalah sama, perintah untuk hanya beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.
Apakah thaghut itu…? Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhi thaghut. Apakah kita tahu apa thaghut itu? Bagaimana kita menjauhi thaghut?. Keimanan seseorang kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa menjauhi thaghut, karena Laa ilaaha illallaah itu mempunyai dua rukun:yang pertama: Laa ilaaha yang berarti jauhi thaghut, sedangkan yang kedua illallaah (kecuali Allah) maksudnya ibadahlah kalian hanya kepada Allah. Salah satunya tidak bisa berdiri tanpa yang lainnya.
Orang yang menjauhi thaghut tapi tidak beriman kepada Allah, maka tidak bermanfaat, begitu juga orang yang iman kepada Allah tapi tidak menjauhi thaghut maka keimanan kepada Allah tersebut tidak akan bermanfaat, akan tetapi harus digabungkan: “Ibadah kepada Allah dan menjauhi thaghut”.
Jadi semua dakwah para Rasul adalah sama dalam masalah Laa ilaaha illallaah, yaitu ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut. AllahTa’ala berfirman:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia berpegang (teguh) pada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Buhul tali yang sangat kokoh ini adalah Laa ilaaha illallaah, tadi telah saya utarakan…
Itulah tali yang Allah ulurkan ke dunia ini, barangsiapa yang kafir terhadap thaghut atau bahasa lainnya dalam surat An-Nahl 36: “menjauhi thaghut dan beriman kepada Allah (beribadahlah kepada Allah)” maka orang tersebut telah memegang buhul tali yang amat kokoh yaitu Laa ilaaha illallaah yang dijelaskan dalam surat Al-Anbiyaa: 25. Jadi maknanya: Siapa yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka orang tersebut telah memegang Laa ilaaha illallaah, artinya kalau orang tidak kafir terhadap thaghut walaupun ia beriman kepada Allah, maka dia itu belum memegang Laa ilaaha illallaah meskipun ia mengucapkannya dan walaupun ia mengakuinya.
Jadi orang yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah disebut orang yang telah memegang Al ‘Urwah Al Wutsqa, Al-‘Urwah adalah ikatan dan Al-Wutsqa adalah yang amat kokoh dan ikatan yang amat kokoh ini adalah tauhid (Laa ilaha illallaah) karena ikatan tersebut tidak akan putus.
Allah mensyaratkan bagi seseorang agar dapat dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah adalah dengan dua hal: Iman kepada Allah dan kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah. Sedangkan kita mengetahui bahwa rukun islam yang paling pertama adalah Laa ilaaha illallaah. Dalam hadits Al Bukhariy dan Muslim yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan: “Islam dibangun atas lima hal, yang pertama adalah syahadatain Laa ilaha illallaah wa ana Muhammad Rasulullah...”. Dan kita juga mengetahui bahwa orang dikatakan telah masuk Islam adalah apabila berkomitmen dengan Laa ilaaha illallaah.
Kunci masuk Islam adalah Laa ilaaha illallaah sebagaimana kunci masuk surga adalah Laa ilaaha illallaah. Maksudnya adalah bukan sekedar mengucapkan, akan tetapi komitmen dengan makna kandungannya yaitu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan iman atau ibadah hanya kepada Allah artinya: Apabila orang tidak merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka orang tersebut belum memiliki kunci keislaman yaitu pengamalan akan Laa ilaaha illallaah.
Oleh karena itu para ‘ulama seperti: Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al ’Aziz Al Hamid: “Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma para ulama”.
Jadi hal itu tidak bermanfaat walaupun mengucapkannya beratus-ratus kali atau beribu-ribu kali dalam setiap hari, apabila tidak memahami maknanya dan tanpa komitmen dengan kandungannya, maka itu tidaklah bermanfaat berdasarkan ijma’ para ulama.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya telah menjelaskan dalam hadits Muslim yang disebutkan dalam shahihnya yaitu Dari Abu Malik Al-Asyja’i, beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan ia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah -maksudnya kafir terhadap Thaghut- maka haram darah dan hartanya”. Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan keharaman darah dan harta, maksudnya orang dikatakan berstatus muslim yang haram harta dan darahnya, jika ia mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan kafir terhadap thaghut. Jadi sekedar mengucapkannya adalah tidak bermanfaat dan orangnya belum masuk ke dalam Al-Islam, bila tidak kafir kepada thaghut.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Islam itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini, maka ia bukan muslim”. Karena ia belum memegang Laa ilaaha illallaah.
Jadi Laa ilaaha illallaah itu memiliki makna dan memiliki kandungan serta memiliki konsekuensi yang di antaranya adalah kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut.
Allah memerintahkan kita untuk menjauhi thaghut, maka tak mungkin Allah tidak memberikan penjelasan tentang thaghut… itu mustahil, jika shalat saja yang Allah fardhukan 10 tahun setelah kerasulan (Nabi Muhammad shallallhu’alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul,ed) dijelaskan dalam sunnahnya secara terperinci oleh Rasul-Nya, maka apalagi thaghut yang mana Allah perintahkan semenjak awal Rasul diutus untuk mengatakan: “jauhi thaghut…!” tentulah Allah menjelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an, dan Allah pasti menjabarkan bagaimana tata cara kafir terhadap thaghut…
Kita tanya diri kita, apakah saya sudah tahu apa itu thaghut? atau apakah justru saya mendekati thaghut? atau malah saya iman kepada thaghut? atau malah saya loyal kepada thaghut? Semua jawaban ada pada diri kita sendiri, maka dari itu hal ini mengharuskan kita untuk mengetahuinya.
Apabila kita paham bahwa keislaman seseorang atau dengan kata lain seseorang tidak dikatakan muslim, tidak dikatakan mukmin adalah kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka selanjutnya… sebelum kita mengupas lebih banyak apa maknanya, maka terlebih dahulu harus kita ingat bahwa segala amal ibadah; baik itu shalat, zakat, shaum, haji, i’tikaf, shalat tarawih dan yang lainnya tidak akan Allah terima, tidak akan Allah balas kalau orangnya belum muslim, belum mukmin. Maksudnya di sini adalah muslim… mukmin yang sebenarnya -bukan pengakuan saja-, yaitu muslim yang merealisasikan Laa ilaaha illallaah karena para ulama menjelaskan dari uraian-uraian yang tadi mereka mengatakan: “Para ulama sepakat, bahwa orang yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah, maka dia itu orang musyrik walaupun dia shalat, zakat, shaum, mengaku muslim dan mengucapkan Laa ilaaha illallaah” (Lihat Ibthal At Tandid).
Allah hanya akan menerima amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat orang tersebut merealisasikan Laa ilaaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah), karena orang tidak dikatakan muslim dan tidak dikatakan mukmin kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah atau merealisasikan Laa ilaaha illallaah.
Mari kita ambil beberapa ayat yang menerangkan bahwa amal shalih tidak akan Allah balas kalau orangnya (pelakunya) tidak kafir terhadap thaghut.
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

“Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukimin, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizhalimi sedikitpun” (QS. An-Nisa [4]: 124).
Perhatikanlah ayat “dia itu mukmin”, sedangkan orang tidak dikatakan mukmin, kecuali orang tersebut kafir terhadap thaghut, karena -seperti yang sudah dijelaskan- pintu masuk Islam adalah Laa ilaaha illallaah dan maknanya adalah kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan memberikan balasan surga dan tidak sedikitpun mengurangi amal shalih yang dilakukan seseorang baik itu laki-laki ataupun perempuan dengan syarat dia mukmin, sedangkan orang yang melakukan shalat, zakat, shaum, haji, jihad dan yang lainnya namun dia ternyata tawalliy kepada thaghut atau masih melakukan kemusyrikan atau yang lainnya yang melanggar Laa ilaaha illallaah, maka balasan tadi tidak akan diberikan karena Allah mengatakan “sedang dia itu mukmin”sebagai syaratnya.
 2. Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl [16]: 97)
Amal shalih yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan akan ada balasannya dari Allah, akan tetapi ada syaratnya yaitu: “sedang dia itu mukmin”. Orang mukmin yaitu yang merealisasikan keimanan yang intinya ada dalam makna kandungan Laa ilaaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah)
Dua ayat di atas sama, semuanya tentang amal shalih, ada balasan di ujungnya, sedang di tengahnya ada syarat: “sedang dia itu mukmin”.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا يَخَافُ ظُلْمًا وَلا هَضْمًا

Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin, maka dia tidak khawatir akan perlakuan zhalim terhadapnya dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya”. (QS. Thaha [20]: 112)
Orang yang melakukan amal shalih tidak akan dizhalimi oleh Allah, dan tidak akan dikurangi pahalanya tapi ada syaratnya: “sedang dia itu mukmin” orangnya mukmin, orangnya (pelakunya) itu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya jika orang melakukan amal shalih, tapi tidak menjauhi thaghut maka amalnya tidak akan diberikan balasan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا كُفْرَانَ لِسَعْيِهِ وَإِنَّا لَهُ كَاتِبُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin, maka usahanya tidak akan diingkari (sia-sia) dan sungguh Kami akan mencatat untuknya” (QS. Al-Anbiyaa [21]: 94)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dicatat oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dan tidak akan diingkari-Nya dengan syarat: “sedang dia itu mukmin”.Berarti kalau seseorang melakukan amal shalih akan tetapi belum merealisasikan ”kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah” (Laa ilaha illallaah) maka tidak akan dicatat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
5. Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Barangsiappa mengerjakan kebajikan baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin maka mereka akan masuk surga, merea diberi rizqi di dalamnya tanpa batas”. (QS Al Mu’min [40]: 40)
Ada balasan surga dan ada balasan terhadap amal shalih yang dilakukan oleh setiap individu insan dengan syarat: “Sedang ia itu mukmin”
6. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia itu mukmin, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (QS. Al Isra [17]: 19)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dibalas oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan syarat: “sedang dia itu mukmin
7. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى

“Barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi” (QS. Thaahaa [20]: 75)
Allah janjikan surga atas amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat dia itu mukmin. Dia iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut.
Semua ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas menjelaskan bahwa sekedar orang shalat, zakat, haji dan yang lainnya belum tentu dia itu muslim kalau dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah.
Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa ajaran yang paling pokok di dalam Islam ini dan yang paling nikmat adalah bila seseorang telah mendapatkan karunia-Nya adalah ketika dia memahami dan bisa mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah.
Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mendakwahkan Laa ilaaha illallaah, sebelum diangkat menjadi Rasul yang mana digelari oleh masyarakat sekitarnya sebagai Al-Amin (orang yang jujur lagi terpercaya), tetapi ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallaah maka gelar itu berubah menjadi: “Tukang sihir lagi pendusta” (QS. Shaad: 4), berubah menjadi: “Penya’ir Gila” (QS. Ash Shaaffat: 36), dan dalam ayat yang lain dikatakan “sesat”Semua perubahan ini terjadi karena mengamalkan Laa ilaaha illallaah.
Tidak mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah langsung dikatakan: gila, pendusta, penya’ir gila… melainkan ketika mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallaah.
Rasulullah dilempari, dicekik, Bilal disiksa, Sumayyah dibunuh, Yasir dibunuh, Ammar disiksa dan karena mendapat intimidasi yang dahsyat, maka para shahabat yang lainnya diizinkan hijrah ke Habasyah (Ethiopia), meninggalkan kampung halaman, rumah, harta benda, mengarungi padang pasir yang luas dan mengarungi lautan yang jauh untuk menyeberang ke Benua Afrika, karena apa…? Karena mempertahankan Laa ilaaha illallaah.
Andaikata Laa ilaha illallaah itu hanya sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh kalimat tersebut pada realita kehidupan, maka tidak mungkin terjadi apa yang menimpa mereka.
Sekarang misalnya kita mengucapkan Laa ilaaha illallaah di hadapan thaghut maka kita tidak akan diapa-apakan. Akan tetapi ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah maka akan terjadi apa yang (mesti) terjadi berupa: orang-orang menggunjing, orang-orang menjauhi dan mencela kita, dan bahkan thaghut mengejar dan memenjarakan itulah yang terjadi ketika kita mengamalkan konsekuensinya.
Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallaah memakan waktu yang sangat lama, karena beratnya sehingga kaumnya menolak:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا

Dan sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun” (QS. Al-Ankabuut [29]: 14).
Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam waktu sekian lama hanya mempunyai pengikut sebanyak 40 orang -sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama- disebabkan beratnya kandungan Laa ilaaha illallaah.
Sekarang, shalat tidak dilarang di manapun, baik orang kafir ashliy atau orang kafir murtad atau thaghut tidak melarang shalat, bahkan shalat dianjurkan, shaum bagi mereka adalah penghematan, haji bagi mereka menambah pendapatan negara, akan tetapi… ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah, maka yang ada adalah: penyiksaan, intimidasi, penjara, pembunuhan dan yang lainnya… Itu semua adalah ketika Laa ilaaha illallaah dipegang.
Kita sering mendengar bahwa nikmat yang paling agung adalah nikmat iman dan islam, hal itu adalah Laa ilaaha illallaah, namun bukan hanya sekedar ucapan tanpa mengetahui maknanya. Jika orang tidak memahami hakikat Laa ilaaha illallaah dan tidak mengamalkannya, maka ia tidak mungkin merasakan nikmat itu, akan tetapi di sini apabila orang memahaminya, mengamalkannya ~walaupun harus meninggalkan harta dunia atau materi atau apa saja yang ia miliki~ apabila dia sudah merasakan nikmat Laa ilaaha illallaah, maka ia akan berani meninggalkan semuanya demi meraih ridha Allah… meraih surga dan selamat dari api neraka.
Sebaliknya, orang yang melakukan amal shalih, sedangkan ia tidak merealisasikan makna Laa ilaaha illallaah, masih berlumuran dengan kemusyirikan, kekafiran, kethaghutan dan yang lainnya, maka nestapa yang akan dirasakannya adalah sebagaimana yang Allah gambarkan dalam firman-Nya tentang orang-orang yang melakukan amal shalih sedangkan dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah yaitu:
Firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Jadi tidak ada artinya alias hilang… shalatnya, zakatnya, shaumnya, hajinya, berbuat baiknya kepada tetangga, perbuatan baiknya kepada orang tuanya, dan kebaikan-kebaikan lainnya, maka semuanya hilang lenyap karena kemusyrikan. Amal shalih hanya akan diterima oleh Allah dengan syarat “sedang dia itu mukmin” yaitu komitmen dengan Laa ilaaha illallaah, orangnya muwahhid (bertauhid).
Firman-Nya yang menggambarkan tentang realita umat yang merasa telah melakukan amal baik berupa amal-amal shalih dan menjadi bagian kaum muslimin padahal sebenarnya dirinya itu masih musyrik dan masih kafir tanpa ia menyadari adalah…

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya” (QS. An-Nur [24]: 39).
Ayat “dan orang-orang kafir” adalah siapa saja yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah, baik itu mengaku muslim atau non muslim, mau shalat, mau zakat ataupun haji akan tetapi belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka pada hakikatnya dia masih kafir.
Allah memperumpamakan amalan orang-orang yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah seperti fatamorgana, maksudnya adalah bahwa orang yang merasa dirinya sudah muslim (ia melakukan) shalat, zakat, haji dan banyak berbuat baik pada sesama, lalu ia mengira pahalanya sudah menumpuk di sisi Allah, dia siap memetiknya hingga dia mengira akan masuk surga, dan ketika didatangi (maksudnya: mati) menemui Allah, yang mana sebelumnya dia di dunia mengira pahala sudah menumpuk… ternyata realitanya dia tidak mendapatkan apa-apa, kenapa…? karena Allah tidak mencatatnya, karena amalan itu tidak ada artinya, sungguh sangat kecewa, padahal dahulu ketika di dunia dia mengira bahwa dia calon penghuni surga dan aman dari api neraka, ternyata yang ada adalah nestapa yang dia dapatkan dalam realita yang seperti itu… Bagaimana sekiranya kalau hal itu menimpa diri kita? Ini adalah gambaran dalam ayat tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلالُ الْبَعِيدُ

“Perumpamaan orang yang kafir kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti debu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia)” (QS. Ibrahim [14]: 18)
Jika kita menyimpan debu di depan rumah, lalu tiba-tiba debu tersebut ditiup badai… maka apa yang terjadi? Maka kita akan lihat debu tersebut beterbangan. Begitu juga amal shalih, ia seperti tumpukan debu, sedangkan noda-noda kekafiran, kemusyrikan, kethaghutan adalah badai yang meniup dan menghempaskan amal shalih yang menumpuk, maka amal shalih itu hilang diterpa badai kemusyrikan tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi yang sebelummu: Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu dan tentulah engkau termasuk orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)
Allah Ta’ala mengingatkan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, beliau adalah orang muslim, muwahhid, dan mukmin. Akan tetapi jika Rasulullah melakukan kemusyrikan ~sedangkan kedudukan beliau adalah Rasul~ beliau diberikan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan dengan kita..?
Rugi, karena sudah capek beramal, banyak mengeluarkan biaya, apalagi kalau pergi Haji tentu memakan biaya besar, akan tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa… bukankah ini suatu kerugian…???
Bahkan bukan hanya Rasulullah Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam saja, akan tetapi semua rasul diperingatkan dengan ancaman oleh AllahSubhanahu Wa Ta’ala dalam kitab-Nya:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am [6]: 88)
Andai kamu hai orang-orang muslim… hai siapa saja, bila melakukan kemusyrikan, maka lenyaplah amal kamu seperti tumpukan debu yang dihempas oleh badai, sehingga ketika mengaku sebagai seorang muslim, merasa dirinya sudah Islam, melakukan shalat, zakat, haji, berjihad, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memberi kepada sesama dan yang lainnya, akan tetapi bila realita sebenarnya dia itu belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah dan belum kufur terhadap thaghut dan merasa dirinya sudah benar, sudah Islam, dia merasa bahwa kalau dia mati bisa memetik hasil amal shalih yang telah dia lakukan, akan tetapi ternyata ketika dia datang ke akhirat ia tidak mendapatkan apa-apa sehingga ini yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (١٠٣) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi [18]: 103-104).
Mereka mengira sudah berbuat sebaik-baiknya, mengira bahwa dia itu calon penghuni surga, mengira bahwa amalannya diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mengira dirinya aman dari api neraka. Tapi ternyata… tidaklah seperti yang dia perkirakan. Bukannya pahala yang didapatkannya, akan tetapi malah siksa api neraka, karena apa? karena belum merealisasikan inti dari ajaran Islam -Laa ilaaha illallaah (iman kepada Allah dan kufur terhadap thaghut)- sehingga nestapa inilah yang akan dirasakan dan apa yang Allah gambarkan dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ (٢) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (٣) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً

“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas“ (QS. Al Ghaasyiyah [88]: 2-4)
Bukan surga yang didapat, akan tetapi dia masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Alangkah ruginya, alangkah sedihnya ketika kondisi yang di sana tidak ada lagi kesempatan untuk kembali lagi ke dunia. Mungkin, ketika orang melakukan kegagalan di dunia ini, dia bisa mengulang dan bisa mengambil pelajaran karena masih ada kesempatan tapi di akhirat maka tidak akan ada lagi kesempatan.
Orang yang dahulunya menentang Allah dan mengikuti thaghut, mereka akan berkata seperti yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:

إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ (١٦٦) وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali”. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]: 166-167)
Jadi, tauhid (Laa ilaaha illallaah) adalah inti kehidupan kita, inti dari dien kita. Realisasikan tauhid ini, jauhi thaghut sebelum Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup akhir hayat kita sedangkan kita belum berlepas diri dari kethaghutan, karena kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan abadi adalah di akhirat. Allah menciptakan kita di dunia untuk mengabdi kepada Allah… untuk menjauhi thaghut.
Apakah thaghut itu? Apa kita sudah tahu apa thaghut, yang mana Allah memerintahkan kita untuk menjauhinya? Dimana keimanan kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa kafir kepada thaghut dan bagaimana cara kita menjauhi thaghut? Dan apa saja yang membatalkan Laa ilaaha illallaah? Apa saja yang menggugurkan Laa ilaaha illallaah? Jika kita mengetahui apa yang membatalkan wudhu padahal seharusnya kita terlebih dahulu mengetahui apa yang membatalkan Laa ilaaha illallaah… yakni yang membatalkan tauhid kita.
Semua itu akan lebih memahamkan kita ketika mendengar ayat-ayat yang tadi saya sampaikan tentang begitu pentingnya Laa ilaaha illallaah dan begitu besarnya kandungan Laa ilaaha illallaah ini sehingga amalan tidak bisa diterima tanpa adanya pengamalan terhadap Laa ilaaha illallaah. Semua ini mendorong kita untuk mengetahui apa sebenarnya yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah dan bagaimana hukumnya berloyalitas terhadap thaghut. Semua ini harus diketahui.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita, keluarganya dan para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat…
Alhamdulillahirrabbil’aalamiin.
download Seri Materi Tauhid Lengkap.pdf disini.