Al-Iman Sumber Kebahagiaan dan Pertolongan

Rabu, 10 September 2014

Pedang Tanpa Al Qur'an

Oleh : Syeikh Abu Mundzir Asy-Syinqithi


بسم الله الرحمن الرحيم


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi yang mulia, keluarga, dan para sahabatnya.
Dari waktu ke waktu terjadi di beberapa negeri umat Islam seorang murid menyerang untuk mengalahkan ustadznya, karena sang ustadz telah mengecammya, memarahinya, atau bahkan tidak meluluskan ujiannya sehingga dia tidak naik kelas! Peristiwa seperti ini sering terjadi sampai menjadi fenomena tercela sebagai akibat dari kurangnya pendidikan dan penurunan nilai-nilai akhlak di masyarakat.
Akan tetapi fenomena ini ternyata juga terjadi dalam gerakan jihad yang berakibat muncul sikap-sikap “kurang sopan” kepada pemimpin dan Syaikh, memfitnahmya, bahkan menyematkan stigma buruk padanya dengan sebutan “telah menyimpang”, hanya karena dia bersikap keras dalam menegur dan membimbing atau karena dia menyelisihi pendapat para pengikutnya dan orang-orang yang berafiliasi kepadanya. Inilah yang menjadi alasan kita terheran-heran! Maaf, bukan…, tapi menjadi alasan untuk kita bersedih dan prihatin!
Apakah “ke-syaikh-an” yang sebagian orang mendapat pujian karenanya telah sampai kepada titik lemahnya begitu meleleh ketika baru pertama kali marah dan direndahkan ketika baru perta kali terjadi perselisihan?

Jika kedudukanku di sisi kalian dalam hal kecintaan...

seperti yang telah aku saksikan, sungguh waktuku telah aku hambur-hamburkan!


Pujian dan cacian menurut sebagian orang --seperti demikian halnya menurut orang-orang Yahudi-- tidak ada kaitannya dengan pribadi atau sifat seseorang, tetapi kaitannya adalah dengan sejauh mana dia sepakat dengan mereka atau menyelisihi mereka. Selama dia sepakat maka dia adalah orang yang terpuji dalam segala hal dan sebaliknya selama dia menyelisihi maka dia adalah tercela dalam segala hal!
Imam Bukhari meriwayatkan dalam tafsir surah Al-Baqarah bahwa ketika Abdullah bin Salam masuk Islam, dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Yahudi itu adalah kaum yang suka membuat-buat kedustaan. Jika mereka mengetahui keislamanku sebelum engkau bertanya (tentang aku) kepada mereka maka mereka akan membuat-buat tuduhan kepadaku.”
Lalu datanglah orang-orang Yahudi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Di kalangan kalian Abdullah itu laki-laki seperti apa?”
“Abdullah adalah orang yang terbaik diantara kami dan putra dari orang yang terbaik, pemimpin kami dan putra dari pemimpin kami,” jawab mereka.
“Bagaimana pendapat kalian jika Abdullah bin Salam masuk Islam?” tanya beliau.
“Mudah-mudahan Allah melindunginya dari yang demikian itu!” jawab mereka.
Lalu Abdullah keluar dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Mereka berkata untuk menjelek-jelekkannya, “Dia adalah orang yang terburuk diantara kami dan putra dari orang yang terburuk!”
“Inilah yang aku khawatirkan, wahai Rasulullah,” keluh Abdullah bin Salam[1].

Dengan cara ini, sebagian orang bisa berubah dalam sekejap mata dari sosok para penuntut ilmu yang rendah hati dan pengikut yang ikhlas menjadi sosok para syaikh yang memberikan arahan kepada syaikh-syaikh yang lain atau menjadi sosok yang keras kepala dalam membantah mereka! Dan yang akan membuat Anda tercengang adalah mereka memiliki panca indra yang tajam, memiliki timbangan yang tidak melewatkan kesalahan kecil dan besar, penyimpanan memori yang tidak melupakan ketergelinciran-ketergelinciran pada kesalahan, dan generator yang mampu mengubah kesalahan-kesalahan kecil menjadi kesalahan-kesalahan besar yang membinasakan. Jika Syaikh lupa atau tergelincir maka mereka berkata, “Syaikh telah binasa dan berubah!”
Kemudian segera mereka mengeluarkan arsip catatan hitam kesalahan-kesalahan lalu mereka bentangkan seluas-luasnya lalu melemparinya dengan bagian kumbang tahi.
Mungkin orang yang lebih bodoh dari keledai dan lebih berani dari orang yang rendah akhlaknya bersegera memberinya sertifikat kematian, bersegera mengajak untuk menshalati jenazahnya, mengkafaninya, dan menguburkannya seperti mengamalkan sunnah dalam menyegerakan pengurusan jenazah! Kemudian orang yang berduka ini berteriak keras diantara orang-orang, “Mudah-mudahan Allah memberikan pahala yang besar kepada kalian karena telah mengurus jenazah Syaikh kami.”
Andaikan orang yang berduka ini tahu hakikat dari rasa dukanya maka tentu dia menyadari bahwa dia sedang berduka terhadap dien dan akhlaknya sendiri.

Betapa sering aku terbunuh dan mati di sisi kalian…

lalu aku bangkit kembali dan sirnalah kubur dan kain kafan.

Sungguh orang yang menyaksikan penguburanku sebelum mereka mengucapkan…

bersama-sama, mereka telah mati sebelum kematian orang yang mereka kuburkan.


Di zaman kita ini, bagaimana bisa selamat dari mereka, sedangkan Imam Asy-Sya’bi rahimahullah dahulu mendapat cobaan dengan keberadaan mereka di zamannya. Beliau rahimahullah berkata, “Demi Allah, jika aku benar sebanyak 99 kali dan aku melakukan 1 kali kesalahan maka sungguh mereka memegang erat-erat 1 kesalahan tersebut dan melupakan 99 yang benar.”[2]
Kasih sayang dan persaudaraan tidak bisa diteruskan pada orang-orang seperti mereka, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mutanabbi,

Jika aku mendapat cobaan dengan kasih sayang seperti kasih sayang kalian…

maka sungguh kasih sayang seperti itu lebih pantas untuk aku tinggalkan!


Sebagian mereka menganggap para ulama akan melepaskan baju dan menaruhnya digantungan baju sambil berkata, “Demi Allah, janganlah kalian tinggalkan kami!”
Orang-orang miskin ini tidak mengetahui bahwa para ulama sangat memandang rendah bersahabat dengan para pemilik tabiat ini. Alangkah buruknya tabiat seseorang dengan akhlak yang rendah dan lisan yang kotor dan keji.
Barangsiapa buruk akhlaknya maka beruntung orang yang menjauhinya…
Inilah Syu’bah rahimahullah berkata kepada sebagian mereka, “Menjauhlah kalian dariku! Bermajelis bersama orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih aku sukai daripada bermajelis bersama kalian!”[3]
Adapun Ibnu ‘Uyaynah rahimahullah mengungkapkan isi hatinya setelah muak dengan mereka, katanya, “Sungguh aku benci bermajelis dengan kalian sejak 40 tahun yang lalu!”[4]
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah jika melihat mereka datang menemuinya maka beliau mengungkapkan puncak kebosanannya lalu menaruh tangannya di dada sambil menggerakkan kedua tangannya dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari kalian!”[5]
Seandainya orang-orang di zaman kita ini melihatnya, tentu lebih keras lagi memukul dadanya dan mencabut rambutnya!
Adapun Imam Asy-Syafi'i, beliau telah membangun dinding pemisah antara mereka dan para ulama dengan mengatakan:

Kedudukan orang bodoh dibanding ulama…

seperti kedudukan ulama dibanding orang bodoh.

Orang bodoh tidak merasa butuh pada ulama

dan ulama lebih merasa tidak butuh pada orang bodoh.

Jika kesengsaraan terhadap orang bodoh telah berkuasa

maka dengan percaya diri, menyelisihi ulama dilakukan oleh orang bodoh.


***

Barangsiapa memperhatikan posisi para ulama jihad hari ini terhadap beberapa kesalahan dan penyimpangan syar’i yang terjadi di medan jihad dan memperhatikan kritikan mereka terhadapnya maka dia akan melihat mereka banyak memiliki jenis dan warna. Setiap kali para ulama berbicara, mengingkari mereka, dan mengajak untuk memperbaiki kesalahan dan menghindari ketergelinciran maka berdirilah orang yang tidak ada bedanya antara ucapannya dan kencingnya menuduh dan mensifati mereka dengan tuduhan menyimpang dan “kambuh”!

Tuduhanmu terhadap orang yang tidak mengenal para pelaku kejinya perbuatan…

sebagai orang-orang yang melakukan perbuatan keji adalah penyesatan

Bahkan keburukan yang telah sirna kemudian kau hadirkan…

karena kebodohan dan kau tertipu oleh kebatilan


Imam Bukhari meriwayatkan dalam “Kitab Asy-Syuruth” kisah perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ke Hudaybiyah. Diantara kisahnya disebutkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menempuh perjalanan sehingga ketika sampai di bukit Tsaniyah tempat mereka turun, tiba-tiba kendaraan unta yang beliau naiki menderum. Para sahabat berkata, “Lepaskan! Lepaskan!” Ternyata unta tersebut malah mogok tidak mau berjalan. Para sahabat berkata, “Unta belang itu mogok.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا خَلَأَتِ الْقَصْوَاءُ، وَمَا ذَاكَ لهَاَ بِخُلُقٍ، وَلَكِنْ حَبَسَهَا حَابِسُ الْفِيْلِ
“Ia tidak mogok dan tidak biasanya dia seperti itu. Tetapi dia ditahan oleh yang menahan gajah.” (al-hadits)[6]
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan pelajaran dari hadits ini dengan mengutip dari Ibnu Battal dan yang lain rahimahumullah, “Boleh menghukumi sesuatu berdasarkan kebiasaan yang telah diketahuinya meskipun yang terjadi berbeda (dari kebiasaan tersebut). Apabila seseorang melakukan suatu kekeliruan yang tidak biasa terjadi padanya maka dia tidak boleh divonis atau dihakimi begitu saja, tetapi harus ditolelir dan dimaafkan. Hal itu dikarenakan unta belang dalam hadits di atas seandainya ia tidak menyalahi kebiasaan maka dugaan para sahabat pasti benar dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari mereka karena mereka salah menduga seperti itu.”[7]

***

Mungkin ilmu yang didapat oleh sebagian orang hanya sampai pada pengetahuan bahwa membantu jihad itu tidak bisa kecuali dengan mengobarkan keberanian dan tepuk tangan saja, sebagimana yang dilakukan oleh supporter tim olahraga. Sedangkan selain itu disebut menelantarkan jihad! Akan tetapi para para ulama jihad menyadari bahwa peran mereka tidak terbatas pada sekedar memberi semangat dan motivasi, tetapi juga mencakup evaluasi dan koreksi untuk perbaikan dan meluruskan. Mereka mengevaluasi kritikan mereka terhadap kesalahan yang terjadi di medan jihad sebagaimana mereka mengevaluasi motivasi mereka untuk berangkat ke medan jihad.
Evaluasi terhadap dien dan jihad tidak sempurna kecuali dengan adanya dua celah tersebut. Sesungguhnya mengingkari mujahidin dan mengkritik kesalahan mereka tidak termasuk menelantarkan jihad, bahkan itu termasuk bantuan terhadap jihad yang telah Allah perintahkan berdasarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam,
اُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا
“Tolonglah saudaramu yang menzhalimi dan yang dizhalimi!”
Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya jika dia dizhalimi. Bagaimana menurut engkau jika dia menzhalimi, bagaimana caranya aku menolongnya?”
Beliau menjawab,
تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
“Engkau halangi dia dari perbuatan zhalim. Itulah cara menolongnya.”[8]
Dengan mengkritik kesalahan mujahidin sesungguhnya para ulama sedang mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berlepas diri dari perbuatan Khalid radhiallahu ‘anhu terhadap Bani Judzaymah dengan bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepada Engkau dari perbuatan Khalid.”[9]
Dan juga ketika beliau mengingkari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu ketika dia membunuh orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat.
Bahkan, wahyu pun turun mengingkari sebagian tindakan mujahidin di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya sebagai berikut:
1. Firman Allah ta’ala,
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ * لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kalian menghendaki harta benda dunia sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kalian ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kalian ambil. (QS Al-Anfal: 67-68)
Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, “Allah ta’ala berfirman kepada para sahabat yang berjihad di Badar yang mendapatkan ghanimah dan mengambil tebusan dari para tawanan: (kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah) maksudnya: kalau sekiranya tidak ada ketetapan dari Allah yang telah terdahulu di Al-Lauh Al-Mahfuzh untuk kalian, wahai orang-orang yang berjihad di Badar, yaitu Allah menghalalkan ghanimah untuk kalian, Allah menetapkan dalam ketetapannya bahwa Dia tidak akan menyesatkan suatu kaum setelah Dia memberi mereka petunjuk sampai Dia jelaskan pada mereka tentang ketakwaan mereka, dan bahwa Dia tidak akan menyiksa seorang pun yang mengikuti peristiwa yang kalian saksikan di Badar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka menolong dien Allah maka tentu kalian akan ditimpa adzab yang besar disebabkan kalian mengambil ghanimah dan harta tebusan dari para tawanan.”[10]
2. Firman Allah ta’ala,
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Mengapa ketika kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuh kalian (pada perang Badar), kalian berkata, “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Ali Imron: 165)
Ibnu Jarir mengatakan, “Maksudnya: kalian mengatakan ketika kalian ditimpa musibah di perang Uhud, ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ maksudnya: dari mana datangnya musibah yang telah menimpa kami ini sedangkan kami adalah umat Islam dan mereka adalah orang-orang musyrik dan di antara kami ada Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mendapatkan wahyu dari langit sedangkan musuh kami adalah orang-orang kafir pada Allah dan orang-orang musyrik? Katakanlah wahai Muhammad pada para sahabatmu yang beriman padamu: (Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri) maksudnya: katakanlah kepada mereka, ‘Musibah yang menimpa kalian ini adalah berasal dari kesalahan diri kalian sendiri karena kalian menyelisihi perintahku dan tidak taat padaku, kesalahan itu tidak berada pada selain kalian dan tidak berasal dari seorang pun selain kalian.’”[11]
Dalam keterangan-keterangan ini semua terdapat dalil akan disyariatkannya mengingkari mujahidin dan meluruskan kesalahan-kesalahan mereka.

***

Tetapi sebagian pendukung jihad hari ini menghendaki para ulama untuk fokus memberikan pujian dan sanjungan dengan mendiamkan penyimpangan dan kesalahan! Perbuatan seperti ini hakikatnya merupakan kelauan syaikh-syaikh yang mendukung para penguasa ketika mereka menyanjung dan menyuruh manusia untuk mentaati mereka dan tidak memberikan jalan --walaupun sekedar dengan isyarat-- pada kekafiran-kekafiran dan kemunkaran-kemunkaran yang mereka lakukan. Yang benar adalah diterimanya kritikan dari para ulama jihad oleh sebagian jamaah jihad adalah bukti akan kemurnian mereka dalam mencari kebenaran dan usaha mereka untuk sesuai dengan kebenaran dengan tidak melihat apakah kritikan itu berasal dari kelompok-kelompok yang menyelisihi dan yang sepakat dengan mereka.
Para ulama yang jujur akan senantiasa berbuat seperti ini. Mereka mengatakan sesuai dengan apa yang mereka anut dari dien Allah. Mereka tidak takut karena Allah pada celaan orang yang suka mencela. Mereka tidak takut pada bidikan pada penguasa dan tidak pula pada omong kosong orang-orang bodoh. Mereka tidak terlena dengan sogokan-sogokan pujian. Dan mereka tidak mampu didiamkan oleh granat-granat ejekan. Keadaan lisan mereka seperti yang digambarkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, “Mengapa aku lihat kalian berpaling darinya? Demi Allah, di tengah-tengah kalian, aku akan terus mengucapkannya.”[12]
Seandainya para ulama membiarkan ketergelinciran mujahidin dan berusaha untuk menyembunyikannya atau membenarkannya karena fanatik pada mereka maka tentu ini menjadi titik awal munculnya generasi yang menapakkan kakinya pada penyimpangan-penyimpangan dan menganggap baik perkara-perkara munkar, seperti disampaikan oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullah,

Telah pergi orang-orang yang dijadikan teladan dengan perbuatan mereka...

dan orang-orang yang pada setiap perkara yang munkar mereka mengingkarinya.

Aku tetap tinggal di belakang orang yang sebagian mereka...

menghiasi sebagian lain agar orang juling menutupi mata orang juling lainnya.


Tidak akan tersebar luas kemunkaran tanpa ada yang mengingkarinya pada suatu kaum kecuali kemunkaran itu akan semakin kokoh dan kuat di tengah-tengah mereka, bahkan mungkin akan menjadi kebiasaan dan dien bagi mereka. Tujuan akhirnya adalah membelokkan perjalanan jihad!
Jika demikian maka tugas para ulama jihad adalah memberikan dukungan dan menetapkan batasan-batasan. Memberikan dukungan kepada mujahidin berdasarkan ilmu jihad mereka yang matang dan membatasi setiap kemunkaran yang kadang-kadang terjadi dalam jihad yang akan memusnahkan dan merusak jalannya.
Sesungguhnya itu adalah madu dan empedu, manis dan pahit. Itulah tugas para para ulama. Hendaklah orang-orang yang memanggil-manggil mereka untuk berpartisipasi dalam dunia jihad menerimanya. Adapun mereka yang tidak menginginkan tugas ini kecuali bagian yang manis saja maka mereka seperti orang yang dikatakan oleh penyair,

Seperti perawan yang menginginkan nikmatnya nikah...

dan menghindar dari kekuasaan orang yang menikahi


***

Komitmen pada musyawarah seharusnya menjadi prinsip yang konsisten bagi mujahidin, karena Allah ta’ala mensifati orang-orang mukmin dengannya dan memuji mereka dengan berfirman,
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka. (QS Asy-Syura: 38)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam --padahal beliau dikuatkan dengan wahyu-- berdiri diantara para sahabat dan berkata, “Sampaikan saran kalian kepadaku, wahai manusia... sampaikan saran kalian kepadaku!!”
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, “Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih banyak musyawarah dibandingkan para sahabat Rasulullah.”[13]
Syaikh al-Islam berkata dalam “As-Siyasah Asy-Syar’iyah”, “Seorang pemimpin sangat butuh pada musyawarah, karena Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berfirman,
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran: 159).”[14]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang penguasa diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang yang diajak musyawarah bisa mengingatkannya tentang apa saja yang dia lupa dan menunjukkannya pada dalil yang dia belum mengetahuinya.”[15]

Sesungguhnya orang yang cerdas apabila memilah-milah perkaranya...

maka dia pisahkan perkara-perkara itu dengan musyawarah dan meminta saran.

Sementara orang bodoh bersikukuh dengan pendapatnya...

maka engkau lihat dia memperlakukan perkaranya dengan membahayakan.


Disebutkan dalam kata-kata bijak: musyawarah ibarat mata untuk mencari petunjuk dan sungguh membahayakan seseorang yang bersikukuh dengan pendapatnya.
Para ulama robbani adalah pembawa petunjuk ketika malam telah bercampur dengan debu dan manusia bingung untuk mengetahui yang benar. Allah ta’ala menyuruh untuk bertanya pada mereka dan memotivasi untuk taat pada mereka dan menyambung tali silaturahim dengan mereka.
Allah ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنْتُم لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui. (QS An-Nahl: 43)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian. (QS An-Nisa’: 59) Yang dimaksud ulil amri adalah para pemimpin dan ulama.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Makna yang yang tersurat dalam ayat ini --hanya Allah yang lebih mengetahui—adalah ayat ini bermakna umum mencakup semua ulil amri dari kalangan para pemimpin dan ulama.”[16]
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ulil amri itu ada dua macam: para pemimpin dan para ulama. Mereka itulah orang-orang yang apabila mereka baik maka manusia akan baik.”[17]
Sudah selayaknya mujahidin yang jujur bermusyawarah dengan mereka dan bertanya kepada mereka tentang segala sesuatu yang menjadi bidang mereka, terutama dalam hal jihad, masalah darah, urusan umat, dan kepentingan publik.
Imam Bukhari berkata, “Para imam setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah dengan orang-orang terpercaya dari kalangan para ulama dalam perkara-perkara yang mubah (boleh).”[18]
Beliau juga mengatakan, “Para penghafal Al-Qur’an adalah orang-orang yang diajak musyawarah oleh Umar radhiallahu ‘anhu, tua dan muda. Dan Umar selalu berdiri di sisi Kitab Allah ‘azza wa jalla.”[19]
Ketika datang nasihat dari para ulama maka musibah yang besar bila tidak menerima nasihat mereka dan tidak mendengar ucapan mereka. Jika mereka mencela nasihat-nasihat mereka maka itulah musibah di atas musibah!

Nasihat adalah barang paling murah yang dijual oleh seseorang...

karena itu jangan ragu menerima nasihat dan jangan merasa diserang.


***
Sesungguhnya musuh-musuh Allah selalu berusaha agar perahu jihad ini berlayar tanpa nahkoda ulama robbani --karena mereka tahu bahwa cukup dengan cara itu pasti perahu itu akan tenggelam dengan sendirinya-- karena itulah mereka mengepung dan menangkap semua ulama penyangga jihad dengan tuduhan menghasut untuk gerakan terorisme. Akibatnya, para pendukung jihad dari kalangan para ulama menjadi seperti orang-orang yang memegang bara api!

 

Jika mereka diam maka merugilah dien mereka...

dan jika mereka bicara merugilah dunia mereka!


Nasib mereka tidak lepas dari beberapa kemungkinan: dibunuh, dipenjara, dibuang, dan diboikot tidak boleh berbicara. Sehingga tidak tersisa orang yang bersabar menempun jalan ini dan berani menanggung rasa sakit, penderitaan, dan pelecehan kecuali sedikit yaitu orang-orang yang telah menadzarkan diri mereka untuk perkara yang penting ini.
Keberadaan para ulama yang mengarahkan dan meluruskan perjalanan jihad ini merupakan nikmat dari Allah ‘azza wa jalla kepada mujahidin yang sudah sepantasnya mereka bergembira karenanya, bukan menganggapnya sebagai siksaan dan bencana! Mereka adalah perhiasan mahal yang tidak akan diketahui nilainya kecuali oleh orang yang telah Allah beri pandangan yang tajam.

Berapa banyak nikmat terasa sebagai siksa bagi orang yang merdeka...

dan berapa banyak ghanimah yang dianggap sebagai kerugian oleh orang yang merdeka


Imam As-Subki rahimahullah meriwayatkan dalam “Thabaqat Asy-Syafi’iyyah” bahwa seorang raja yang shalih bernama Ismail dari keturunan Bani Ayub memberikan amanah kepada Al-Izz bin Abdussalam untuk khutbah di Masjid Jami’ Al-Umawi. Setelah berjalan waktu beberapa lama, sang Raja menyerahkan sebagian benteng kepada orang-orang Nasrani, seperti benteng Syaqif dan Shafed. Al-Izz bin Abdussalam menentang keputusan itu dan tidak lagi mendoakan kebaikan untuk sang Raja ketika khutbah sehingga beliau dipecat dari tugas sebagai khotib. Kemudian sang Raja pergi menemui komandan pasukan Nasrani sambil membawa Al-Izz bin Abdussalam dan memenjarakannya di salah satu kemah. Ketika sang Raja duduk bersama orang-orang Nasrani, Al-Izz bin Abdussalam membaca Al-Qur’an sehingga suara beliu sampai kepada mereka. Sang Raja berkata, “Tahukah kalian suara siapa yang kalian dengar ini?”
“Tidak,” jawab mereka.
“Orang ini termasuk pembesar pendeta kami --dia tidak mengatakan ulama kami--. Tahukah kalian mengapa dia saya penjara?”
“Tidak,” jawab mereka.
“Karena dia menentang aliansi kami dengan kalian dan menentang penyerahan sebagian benteng kepada kalian,” jawab sang Raja.
Orang Nasrani tersebut berkata, “Demi Allah, seandainya orang ini adalah pendeta kami dengan dihiasi keberanian dan ikhlas seperti itu maka tentu kami akan cuci kedua kakinya dengan air dan kami akan meminumnya!”
Maka menjadi malu sang Raja dan memerintahkan untuk membebaskannya. [20]

***

Sebagian mereka berkata, “Kami tidak menentang prinsip saling menasihati dan koreksi, tapi kami keberatan dengan sikap keras kepada mujahidin dan sikap berlebihan dalam mengingkari mereka.”
Jawaban untuk pernyataan ini adalah bahwa para ulama adalah orang-orang yang mampu memahami tempat dan kebutuhan kapankah harus dengan cara keras dan kapan dengan cara lemah lembut. Kadang-kadang cukup dengan mengedepankan sikap lemah lembut dan peringatan kecil dan kadang-kadang harus dengan pengingkaran yang keras dan tegas terhadap orang yang terus menerus melakukan kesalahan. Harus dibedakan antara orang yang meninggalkan perkara sunnah dengan orang yang meninggalkan perkara wajib. Demikian juga tidak sama antara orang yang lupa dengan orang yang sengaja dan terus menerus melakukannya. Seseorang yang terus menerus melakukan kesalahan maka harus disikapi dengan keras sesuai dengan kadar sejauh mana sikap terus menerus melakukan kesalahan itu dilakukan. Hal itu tidak termasuk bentuk kebencian kepadanya atau mendukung orang yang menyalahkannya. Sesungguhnya hal itu merupakan bentuk kasih sayang padanya dan keinginan agar dia lepas dari kesalahannya, seperti dikatakan oleh Abu Tamam,

Dia bersikap keras agar mereka tersadarkan. Barangsiapa yang bijaksana...

maka saat-saat tertentu hendaklah dia bersikap keras pada orang yang dia sayang.

Cacian dari saudara itu lebih baik daripada kehilangan mereka...

Cacian yang nampak lebih baik dari dengki yang tersembunyi


Sikap kasar dan keras dalam memberikan nasihat dan pengajaran bukanlah perbuatan tercela dalam setiap keadaan. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang masalah ini, “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti dua tangan yang salah satu mencuci yang lain. Kadang-kadang kotoran tidak bisa hilang kecuali dengan cara menggosoknya dengan keras. Akan tetapi hal itu menjadikannya bersih yang terhadap perlakuan keras tersebut kita memujinya.”[21]
Kadang-kadang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari sebagian sahabat dengan keras, seperti sabda beliau kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, “Apakah engkau menjelek-jelekkannya karena ibunya? Sesungguhnya engkau masih memiliki sifat jahiliyah!”[22]
Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ سَبَبْتُهُ سَبَّةً أَوْ لَعَنْتُهُ لَعْنَةً فَإِنَّمَا أَنَا مِنْ وَلَدِ آدَمَ أَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُوْنَ وَإِنَّمَا بَعَثَنِيَ اللهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ اِجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ صَلاَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa pun yang aku caci maki dan aku laknat maka sesungguhnya aku termasuk anak Adam yang bisa marah sebagaimana mereka marah. Dan sesungguhnya aku diutus oleh Allah sebagai rahmat (kasih sayang) bagi seluruh alam, maka jadikanlah laknat dan caci makian itu sebagai doa untuk mereka pada hari kiamat.[23]
Akan tetapi sikap keras dan kasar yang keluar dari para ulama umumnya adalah reaksi terhadap pelanggaran penuntut ilmu, seperti yang dikatakan oleh Husyaim, “Ismail bin Abu Khalid termasuk orang yang paling baik akhlaknya. Mereka terus menerus mengganggunya sehingga menjadi buruk akhlaknya.”[24]
Bagaimanapun sebab munculnya sikap keras dan kasar maka kewajiban bagi para penuntut ilmu adalah bersabar menghadapinya. Dalam masalah ini Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang adab-adab penuntut ilmu, “Diantara adab-adabnya adalah menerima sikap kasar dan akhlak yang buruk seorang Syaikh. Hendaknya hal itu tidak menghalanginya dari mengambil ilmu darinya dan meyakini kesempurnaannya. Hendaknya dia menafsirkan dengan tafsiran yang baik tentang ucapan dan perbuatannya yang secara kasat mata rusak. Tidak ada yang tidak mampu melakukannya kecuali orang yang sedikit mendapatkan taufik atau bahkan tidak mendapatkan taufik sama sekali. Apabila seorang Syaikh bersikap kasar maka hendaklah dia yang memulai mencarikan udzur untuknya dan menampakkan bahwa memang yang salah adalah dirinya sendiri dan memang dirinya layak mendapat celaan. Yang demikian itu lebih bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat serta lebih membersihkan hati Syaikh terhadap dirinya.”[25]
Demikianlah... hal ini seperti diucapkan dalam syair,

ika kami sakit maka kami datang menjenguk kalian...

dan kalian melakukan dosa maka kami datang dan mencarikan udzur untuk kalian


Termasuk kesempurnaan muru’ah (kejantanan) adalah engkau melupakan hakmu dan mengingat kewajibanmu, engkau menganggap besar kesalahan yang bersumber dari dirimu dan menganggap kecil kesalahan yang bersumber dari orang lain.
Al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah menulis dalam kitabnya “Al-Jami’ Li Akhlaq Ar-Rawi Wa Adab As-Sami’” satu pembahasan dengan judul: (Lemah lembut terhadap periwayat hadits dan menerima perlakuannya ketika marah).
Daya tahan dan kesabaran terhadap sikap yang menyakiti dari seorang Syaikh ini menjadi bukti akan keseriusan seseorang dalam menuntut ilmu.
Karena itulah Muhammad bin Harun rahimahullah berkata,

Pukulan seorang alim di pipi...

Lebih nikmat daripada minuman lezat yang kunikmati.


Sebagian ulama menguji siswanya dalam menuntut ilmu dengan bersikap keras dan kasar kepada mereka. Diantaranya datang seorang penuntut ilmu dari negeri yang jauh lalu Syaikh tidak mengizinkannya masuk, bahkan membiarkannya tidur di depan pintu rumah sepanjang malam. Al-A’masy rahimahullah mempunyai seekor anjing yang menghadang setiap penuntut ilmu yang ingin menemuinya! Dan Al-A’masy rahimahullah pernah berpura-pura tidak merasa berada di dekat muridnya lalu dia meludah kepadanya seolah-olah dia hendak meludah ke tanah. Jika sang murid bergerak atau berbicara maka pelajaran dibatalkan! Cerita-cerita dalam masalah ini banyak tak terhitung jumlahnya.
Akan tetapi sikap keras dari orang yang lebih tua tidak sama dengan sikap keras dari anak muda. Sikap keras seorang Syaikh terhadap murid-muridnya adalah wujud kedisiplinan dan teguran yang disyari’atkan. Sementara sikap keras para penuntut ilmu terhadap Syaikhnya adalah wujud hilangnya rasa malu dan buruknya adab yang dilarang oleh syari’at. Karena itu, menjadi kewajiban bagi penuntut ilmu untuk menghormati Syaikhnya sehingga sikapnya menjadi penuh kasih sayang dan lemah lembut yang terasa seperti madu di dalam wadahnya.
Guru dan dokter, masing-masing keduanya...
tidak akan memberikan nasihat jika tidak dihormati keduanya
Dalam masalah ini terdapat hadits Abu Musa radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ مِنْ إِجْلاَلِ اللهِ تَعَالَى إِكْرَامِ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ، وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرِ الْغَالِيْ فِيْهِ وَالْجَافِيْ عَنْهُ، وَإِكْرَامِ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ
“Sesungguhnya termasuk memuliakan Allah adalah memuliakan seorang muslim yang sudah tua, penghafal Al-Qur’an yang tidak ghuluw (berlebihan) terhadapnya dan tidak menjauh darinya, dan memuliakan penguasa yang adil.”[26]
Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua diantara kami, tidak menyayangi orang yang lebih muda diantara kami, dan tidak mengetahui hak orang yang berilmu diantara kami.”[27]

***

Sebagaimana harus sabar terhadap sesuatu yang menyakiti dan sikap keras dari Syaikh maka demikian juga harus menahan diri dan bersabar terhadap perkara-perkara yang bersumber darinya yang kadang-kadang aneh. Sebagian orang telah menjadi seperti burung unta, matanya telah lebih besar dari kepalanya. Dia melihat dengan mata besarnya beberapa tindakan Syaikhnya yang belum mampu dipahami oleh akalnya, kemudian dia memfitnah padahal Syaikhnya belum menjelaskannya. Karena itulah termasuk syarat Nabi Khidhir yang disodorkan kepada Nabi Musa ketika ingin belajar darinya adalah bersabar dan tidak tergesa-gesa mengingkari sesuatu yang masih sulit dia pahami.
Allah ta’ala berfirman,
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
Musa berkata kepada Khidhir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersama aku. Bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata, “In sya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” Dia berkata, “Jika kamu mengikutiku maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS Al-Kahfi: 66-70)
Tentu saja Nabi Musa ‘alaihis salam tidak mampu menyerap atau bersabar terhadap semua perbuatan Nabi Khidhir yang dia saksikan. Dan inilah yang menjadi sebab perpisahan diantara mereka berdua.
Kisah ini tentunya tidak menjadi dalil yang membenarkan mengikuti Syaikh dalam perkara yang haq dan batil dengan batasan yang sama, tetapi kisah ini menjadi dalil untuk tidak terburu-buru mengingkari para ulama sebelum memeriksa dengan cermat dan memastikan adanya ketergelinciran.

Terimalah kebodohanmu dengan lapang dada jika guru telah engkau datangi...

dan terimalah penyakitmu dengan lapang dada jika dokter telah engkau datangi.


***
Jika kita mengasumsikan bahwa para ulama robbani melakukan kesalahan pada beberapa sikap mereka maka hal itu tidak menjadi sebab jatuhnya kehormatan dan kedudukan mereka. Bagaimana bisa kehormatan mereka jatuh diwaktu pertama kali melakukan kesalahan, padahal mereka adalah orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia? Akan tetapi terhadap orang-orang seperti mereka berlaku hadits, “Tidak membahayakan Utsman apa saja yang akan dilakukannya hari ini.”[28]
Dan hadits, “Semoga Allah melihat kepada orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar lalu berfirman, ‘Lakukanlah apa saja yang kamu inginkan, karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.’”[29]
Karena itu, seseorang tidak dipuji disebabkan sesuatu yang benar yang baru pertama dia lakukan dan tidak dicaci maki disebabkan suatu kesalahan yang baru pertama dia lakukan.

Itulah sebabnya penyair mengatakan,

Lari dari musuh hari ini bagi pemuda bukanlah sesuatu yang memalukan...

jika kemarin dia telah dikenal sebagai sosok yang penuh dengan keberanian.


Penyair lain mengatakan,

Jika seseorang yang dicintai datang dengan membawa satu kesalahan...

maka kebaikan-kebaikannya datang dengan membawa seribu pertolongan.


Penyair lain mengatakan,

Jika perbuatan yang salah itu hanya satu...

maka perbuatan-perbuatan yang membahagiakannya beribu-ribu.


Dalam masalah ini terdapat ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah yang sangat terkenal, “Termasuk bagian dari kaidah-kaidah syari’at dan hikmahnya juga bahwa barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya banyak dan besar dan di dalam Islam dia memiliki pengaruh baik yang nyata maka dimaklumi baginya apa saja yang tidak bisa dimaklumi dari orang selainnya dan dimaafkan dari apa saja yang tidak bisa dimaafkan dari orang selainnya. Sesungguhnya maksiat itu adalah kotoran. Apabila air telah mencapai jumlah dua qullah maka tidak akan terpengaruh oleh kotoran. Berbeda dengan air yang sedikit, sedikit kotoran saja itu akan mempengaruhinya.”[30]
Beliau rahimahullah juga berkata dalam “Madarij As-Salikin”, “Perbuatan-perbuatan baik itu akan memberikan syafaat kepada pelakunya nanti di sisi Allah. Oleh karena itu barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya lebih berat dari dosa-dosanya maka dia beruntung dan tidak disiksa. Dosa-dosanya dileburkan kepadanya karena kebaikan-kebaikannya.”[31]
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya seorang ulama besar diantara para ulama, jika banyak kesesuaiannya dengan kebenaran, diketahui keinginannya untuk mencari kebenaran, ilmunya luas, kecerdasannya nampak, dan diketahui keshalihan, wara’, dan ittiba’nya kepada sunnah maka ketergelincirannya pada kesalahan itu dimaafkan, kami tidak memvonisnya sesat, tidak menyingkirkannya, dan tidak melupakan kebaikan-kebaikannya.”[32]
Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya maka kekurangannya dileburkan pada keutamaannya.”[33]
Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi dihindarkan dari hukuman dan ta’zir, sebagaimana disebutkan oleh Al-Izz bin Abdussalam rahimahullah, “Seandainya kesalahan-kesalahan kecil para wali diangkat kasusnya kepada para pemimpin maka mereka tidak boleh dita’zir, bahkan seharusnya dimaafkan kesalahan mereka dan ditutupi ketergelinciran mereka pada kesalahan karena mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk dimaafkan kesalahannya dan ditutupi ketergelinciranya.”[34]
Bahkan, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, masalah ini sampai pada pengguguran hudud (hukum pidana)!! Dalam “I’lam Al-Muwaqqi’in” beliau rahimahullah menyebutkan kisah digugurkannya hukum meminum minuman keras dari Abu Mihjan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Demi Allah, hari ini aku tidak akan memukul seseorang yang telah mengorbankan dirinya untuk umat Islam.”[35]
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Jelas di sini bahwa Sa’ad radhiallahu ‘anhu dalam hal ini telah mengikuti sunnah Allah ta’ala. Ketika dia melihat Abu Mihjan lebih mendahulukan kepentingan dien, melihat jihad yang dilakukan, dan pengorbanan dirinya kepada Allah sebagaimana yang dia ketahui maka hukuman digugurkan darinya karena kebaikan-kebaikan yang telah dia perbuat menenggelamkan satu kesalahan ini dan menjadikan satu kesalahan itu seperti setetes najis yang jatuh ke laut.... Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari perbuatan Khalid radhiallahu ‘anhu terhadap Bani Judzaimah dengan bersabda, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepadamu dari perbuatan Khalid.’ Dan beliau tidak menghukum Khalid karena kesalahan itu disebabkan pengorbanannya dan perjuangannya dalam membela Islam.”[36]
Yang benar dalam masalah ini, hal itu tidak sampai pada menggugurkan hudud, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maafkanlah kesalahan orang-orang yang memiliki kebaikan-kebaikan, kecuali hudud.”[37]

Terakhir, kami sampaikan:

Dalam mengamalkan dien ini tidak bisa tidak dibutuhkan Kitab yang memberi petunjuk dan pedang sebagai penolong. Kitab bertugas untuk meluruskan dan memberikan petunjuk kepada pedang. Sedangkan pedang bertugas untuk membela Kitab dan melindunginya. Seandainya umat Islam hanya mengambil Kitab dan meninggalkan pedang maka dien ini tidak akan pernah bisa tegak. Dan seandainya umat Islam hanya mengambil pedang dan meninggalkan Kitab maka jihad yang diklaim hanya akan menjadi ibarat pisau di tangan orang mabuk. Dengan pisau itu dia sebarkan kerusakan ke segala penjuru. Jihad yang dibenarkan oleh syari’at tidak lain dan tidak bukan merupakan kumpulan mujahidin yang membawa pedang dan para ulama yang membawa Kitab. Dari selain mujahidin ditiadakan jihad itu secara keseluruhan dan dari selain ulama hilanglah keabsahan dan kesesuaiannya dengan syari’at.

Penutup

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اِرْحَمُوْا تُرْحَمُوْا، وَاغْفِرُوْا يُغْفَرْ لَكُمْ،  وَيْلٌ لِأَقْمَاعِ الْقَوْلِ، وَيْلٌ لِلْمُصِرِّيْنَ الَّذِيْنَ يُصِرُّوْنَ عَلَى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Sayangilah maka pasti kalian disayangi! Maafkanlah maka pasti kalian juga dimaafkan! Celakalah orang yang memaksakan diri dalam berbicara. Celakalah orang-orang yang terus menerus melakukan kesalahan padahal mereka tahu.”[38]
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang yang sombong tidak mau dituntun oleh kebenaran maka dia akan diuji dengan dituntun oleh kebatilan.”[39]

وَاللهُ أَعْلَمُ

Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.


Ditulis oleh:
Syeikh Abu Mundzir As-Sinqithi
30 Agustus 2014

Catatan kaki:
[1] Shahih Bukhari.
[2] Siyar A’lam An-Nubala’ 12/308.
[3] Al-Jami’ Fi Akhlaq Ar-Rowi Wa Adab As-Sami’ hlm 101.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Shahih Bukhari.
[7] Fath Al-Bari, Ibnu Hajar 5/335.
[8] Diriwayatkan oleh Bukhari.
[9] Diriwayatkan oleh Bukhari.
[10] Tafsir Ath-Thabari 14/64.
[11] Tafsir Ath-Thabari 7/371.
[12] Shahih Bukhari.
[13] Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Kitab Al-Jihad, Bab Ma Ja’a Fil Al-Musyawarah.
[14] As-Siyasah Asy-Syar’iyah Fi Ishlah Ar-Ra’i Wa Ar-Ra’iyah hlm 126.
[15] Fath Al-Bari, Ibnu Hajar 13/342.
[16] Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim 2/326.
[17] As-Siyasah Asy-Syar’iyah Fi Ishlah Ar-Ra’i Wa Ar-Ra’iyah hlm 214.
[18] Shahih Bukhari.
[19] Shahih Bukhari.
[20] As-Subki: Thabaqat Asy-Syafi’iyah Al-Kubra 8/224.
[21] Majmu’ Al-Fatawa 28/54.
[22] Shahih Bukhari.
[23] Sunan Abu Daud.
[24] Al-Jami’ Fi Akhlaq Ar-Rowi Wa Adab As-Sami’ hlm 101.
[25] At-Tibyan hlm 39.
[26] Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad.
[27] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya.
[28] Jami’ At-Tirmidzi.
[29] Shahih Bukhari.
[30] Miftah Dar As-Sa’adah 1/176.
[31] Madarij As-Salikin 1/337-338 dengan dinukil secara bebas.
[32] Siyar A’lam An-Nubala’ 5/271.
[33] Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Al-Kifayah hlm 79.
[34] Qawa’id Al-Ahkam Fi Mashalih Al-Anam 1/150.
[35] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
[36] I’lam Al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi Al-‘Alamin 3/14-15.
[37] Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, Baihaqi, dan yang lain. Hadits ini banyak memiliki jalur periwayatan, jika dikumpulkan maka derajatnya terangkat menjadi hadits hasan.
[38] Hadits hasan diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan Baihaqi dalam Sya’b Al-Iman.
[39] Majmu’ Al-Fatawa 5/36.

Editor : ded412

(http://www.jurnalislam.com/opini/read/artikel/28/pedang-tanpa-al-qur-an.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar